Bab 16 : Rukun Kembali

574 98 0
                                    

Keesokan pagi, saat Mocca bersiap - siap hendak menaiki Kawasaki Ninja H2R-nya, untuk berangkat sekolah, puluhan motor sport berhenti di depan gerbang rumah besar Dirgantara. Mocca mengangkat alisnya. Genk Doppelganger. Mau apa mereka rame - rame ngejemput gue kemari? Seingat gue, ulang tahun gue masih 2 bulan lagi, pikir Mocca su'udzon setengah ge-er.

Yang pertama membuka helm, dan turun dari motor, adalah Dido. Mocca terperangah melihat Dido mendekatinya, langsung mengulurkan tangan.

"Gue minta maaf,"

Mocca tak menjawab. Pemuda itu hanya memandangi Dido, dengan alis masih terangkat. Cukup lama. Hingga semua anak Doppelganger menjadi saling berpandangan melihat sikap Mocca. Raffa dan Guntur yang sudah ikut turun dari motor,  tampak begitu cemas, takut pertengkaran terpicu lagi.

"Gue minta maaf karena udah kelewat emosi dengan lo kemaren," ulang Dido dengan tangan masih terulur. "Dan gue minta maaf juga, udah bawa Doppelganger nyerang Warrior tanpa izin dari lo,"

BUUKK!!

Bukan jawaban yang diterima Dido. Mocca justru tiba - tiba melayangkan tinjunya pada wajah Dido, hingga sahabatnya itu terjengkang ke belakang, hampir jatuh kalau tidak ditopang Raffa.

"Sekarang impas! Okeh, gue maapin lo," kata Mocca sambil mengulurkan tangan. "Dan gue juga minta maap, udah bertindak tanpa pikir, karena waktu itu gue emang lagi kacau banget!"

Sesaat semua hening, Dido tampak terperangah menatap Mocca, tapi berapa saat kemudian pemuda itu menyambut uluran tangan Mocca.

Bego lo!"

"Lo yang bego!"

Keduanya akhirnya tertawa sambil melakukan salam khas  a la Doppelganger. Pertengkaran itu pupus sudah. Mereka memang tak pernah lama jika bertengkar. Bagi mereka,  Genk Doppelganger bagai sebuah keluarga, tempat berbagi dan bercanda, sulit untuk berlama - lama saling bertekuk muka.

"Gue paham masalah lo dengan Bobbi kemaren. Udah, gak usah lo pikirin si Amanda, cewek di sini juga banyak yang ngantri nungguin lo,"  Dido mencoba memperbaiki hubungan, sambil menepuk bahu Mocca.

"Amanda?"

Gak nyangka Devano yang dingin itu bisa punya cewek juga.  Tapi heran juga, kok baru sekarang mereka sebut - sebut nama itu, setelah gue ribut masalah Bobbi kemarin? Apakah ada hubungannya dengan Bobbi? Mocca hanya bisa bengong, menggaruk kepalanya yang tak gatal.  Busyeet, gue harus cari tau masa lalu Devano, tapi dengan siapa yak? Biar gue gak  kayak orang o'on gini?

"Eh btw  kenapa malam itu lo nelepon gue tapi gak ngomong?" Dido tiba - tiba bertanya. "Kedengerannya seperti lo sedang berantem dengan sapa gitu, ada nama Mami Helena disebut - sebut,"

"Lo tau Mami Helena sapa?" Mocca langsung menyambar dengan pertanyaan itu, tapi Dido justru tertawa.

"Bego lo, itu Tante lo, dudul!"

"Maksud gue,  ehm apa lo tau, semacam sepak - terjangnya gitu?"

"Soal itu lo dong yang lebih tau, kok tanya ke gue? Yeah yang gue ingat, tiap minggu dia rutin nemuin lo kan?"

"Tiap minggu?"

"Yeah..,"

"Gitu ya?"

"Emang Tante lo gak nemuin lo lagi sekarang?"

"Kagak, sejak gue keluar dari Rumah Sakit. Emangnya ngapain dia nemuin gue?"

Dido mengangkat bahu, tampak begitu tercengang.

"Yah elah,  mana gue tau, Bro? Lah elo-nya ngapain dengan dia waktu ketemuan? Pacaran?"

Yang lain tertawa mendengar seloroh Dido. Cuma Mocca yang berkerut - kerut kening mendengarnya. Ngapain yak Si Mami Helena itu rutin nemuin Devano?

"Busyet, pacaran ama Tante - tante, hebat lo, Bos. Udah main level tinggi lo," Irvan ngakak.

"Gimana rasanya, Bos?" Tanya Arkan sambil mengerling nakal.

"Setan lo!"  Mocca mendelik pada Irvan dan Arkan.

"Trus lo ngapain dong dengan dia?"

"Maen catur!"

Riuh - rendah anak - anak Doppelganger cekakak - cekikik dibuatnya. Mocca pun akhirnya tertawa dengan kata - katanya sendiri, yang asal bunyi itu. Karena sumpe sambar geledek,  gue juga gak tau Devano ngapain dengan Si Mami Helena tiap minggu, sebuah tanda tanya besar buat gue!

"Heh, kayaknya ntar aja deh ngobrolnya, sekarang kita harus berangkat ke sekolah, men, ntar telat lagi," Raffa menunjuk jam tangannya.

"Anjir, sejak kapan lo jadi alim, Bro?"

"Sejak tadi,"

'Sial lo!"

"Dah, berangkat aja, jangan banyak bacot!"
Jalanan pun dipenuhi oleh puluhan motor sport yang menderu. Dengan mengenakan jaket kebanggaan mereka, Doppelganger membelah jalan.

Di sepanjang perjalanan menuju sekolah, percakapan tadi masih mengganggu pikiran Mocca. Halah, aneh juga nih masalah, kayaknya ada yang gak bener dengan Mami Helena, yang notabene Tante-nya Devano, and maminya Bobbi Warrior, oh shit dah! Gue harus hati - hati dengan dia...

Saat motor - motor Doppelganger memasuki halaman sekolah, tak sedikit siswa - siswi yang juga sedang berdatangan, memandang mereka dengan penuh kekaguman.

Bilqis yang menyambut mereka, tapi tentu yang terutama disambut, adalah Mocca, yang notabene Devano.

"Seneng deh liat lo masuk hari ini, Beb," kata gadis itu tersenyum lebar pada Mocca.

"So?"

"Ih mulai lagi deyh, Yayang Bebeb ini, padahal kemarin sayang - sayangan di WA,"

"Oh maap, sayangnya udah expired!"

"Jahat!"

"Ya gue emang jahat,"

"Sebeel!"

"EGP!"

"Padahal udah gue bantuin,"

"Oh, ngerasa udah bantuin? Terima kasih banyak, nona Bilqis,"

"Ih Yayang Bebeb!! Gue benci lo! Gue benci!" Bilqis memukuli tubuh Mocca karena bete.

"Yah elah, kenapa lo? Nafsu dengan gue?"

"GUE BENCII LOOI!!!" Jerit Bilqis kencang.

"Heh, kalian berdua, mo sampe kapan ini ??"

Pertengkaran itu baru berhenti, saat Raffa menunjuk jam tangannya. Dido bertolak pinggang. Guntur melotot sangar, dan seluruh anak Doppelganger mendehem keras.

Bos Doppelganger memang dah error sejak O.D, begitu pikir mereka semua. Dulu si Bos begitu jaga image, cool, cuek dengan cewek, kalo sekarang?  Yah elah ampun dewa....

Aku Bukan DevanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang