Bab 32 : Semuanya Memang Harus Diakhiri

587 86 10
                                    

"Harry! Anakmu itu sudah tidak waras! Bukti rekaman itu pasti cuma hasil rekayasa dia!" Jerit Mami Helena, saat polisi menggiringnya duduk di kursi terdakwa dalam ruang pengadilan. "Tak mungkin aku mencelakai keluargaku sendiri!"

Pengunjung sidang riuh mendengar itu, hingga Hakim terpaksa mengetukkan palu, untuk menenangkan.

"Sudahlah Mbak. Aku sebetulnya tak ingin menuntut Mbak, tapi kesalahan Mbak sudah tak bisa ditolerir," balas Papa Devano tak dapat menahan emosinya. "Aku tak percaya Mbak tega melakukan semua itu terhadap anak - anaķku. Devano keponakan Mbak, tapi tega Mbak menyuntikkan Morphine itu hingga dia kecanduan! Lalu Stefano? Dulu Mbak ingin membunuhnya kan?! Terlalu Mbak!!"

"Terlalu?! Kamu memenjarakan suamiku, membuat aku dan anakku Bobbi menjadi sengsara, apa itu tidak terlalu??!"

"Mas Raihan, suami Mbak sudah korup uang perusahaan begitu banyak! Membakar gudang perusahaan! Penjara adalah tempat yang pantas untuknya!"

"Kamu!! Kamu adik kurang ajar!!" Mami Helena berteriak murka. Sidang kembali riuh, dibuatnya.

"Bapak Harry dan Ibu Helena, saya mohon tenang, kita harus melanjutkan sidang!" Hakim menengahi. "Kita akan mendengarkan keterangan saksi,"

"Saksi? Bullshit!" Awalnya Mami Helena hanya mencemooh, tapi wanita itu terperangah saat Mocca dipanggil sebagai saksi. "Huh, untuk apa anak yang tidak waras ini jadi saksi? Apa omongannya bisa dipercaya?"

"Tante boleh menganggap Devano tidak waras. Tapi saya Stefano Alfareya Dirgantara, bukan Devano. Saya Stefano yang dibawa oleh Om Rio, Bodyguard Mama dulu, atas suruhan Tante," Mocca menatap tajam Mami Helena. "Jika Tante mengira saya sudah mati, Tante salah. Om Rio tidak membunuh saya, dia hanya meninggalkan saya di pasar pada seorang ibu penjual Donat,"

"Apa?!" Bergetar seluruh tubuh wanita modis itu mendengar kata - kata Mocca. Mami Helena tidak bisa menghindar lagi, dengan saksi Mocca, juga Emak yang membeberkan penculikan dan kasus suntik Morphine pada Devano, juga Stefano yang nyaris dibunuh kala itu.

Mami Helena hanya bisa terpana saat Hakim mengetuk palu, menjatuhkan vonis penjara untuknya. Bertahun - tahun.

******

Sidang akhirnya selesai. Bagai mimpi rasanya, melihat Mami Helena diborgol Polisi untuk mempertanggung - jawabkan semua perbuatannya selama ini. Akhirnya si Tante berkumpul dengan suaminya yang masih mendekam di penjara, karena suaminya menjalani hukuman seumur hidup, Mocca menghela napas, Bro Devano, lo bisa tenang sekarang, Bro, perjuangan lo membongkar kejahatan Mami Helena sudah membuahkan hasil sekarang, kematian lo gak sia - sia...

Saat hendak masuk ke dalam mobil, Mocca melihat Bobbi yang juga menghadiri persidangan Mami Helena, ibunya, keluar dari gedung pengadilan. Pemuda yang memakai anting di telinga kiri itu tampak hendak menaiki motor sportnya yang terparkir tak jauh dari situ. Anak - anak Warrior tampak mengiringi di belakangnya. Entah kenapa, terbersit rasa iba di hati Mocca melihat wajah Bobbi yang notabene masih sepupunya itu, tampak begitu sedih. Jelas, dia tinggal sendiri sekarang, kedua orang tuanya mendekam di dalam penjara entah sampai kapan.

"Bro,"

Bobbi terperangah melihat Mocca tiba - tiba menghalangi langkahnya.

"Minggir lo! Jangan ganggu gue!" Sergah pemuda itu, ketus. Anak - anak Warrior langsung maju, mengepung Mocca.

"Tunggu, gue cuma mo bicara, bukan mencari ribut," Mocca mengangkat tangannya.

"Gak ada yang perlu dibicarain! Lo senang sekarang kan? Berhasil menjarain Mama gue!"

"Plis, gue cuma ingin mengakhiri semua permusuhan ini," Mocca menatap Bobbi. "Masalah nyokap lo, biarlah itu jadi urusan orang tua kita,"

"Gak bisa semudah itu, sepupu!" Sembur Bobbi. "Lo gak tau rasanya, gimana sakitnya gue, keluarga gue bagian dari keluarga Dirgantara, tapi gak pernah dianggap ama Papa lo, Harry Diirgantara!! Kami hidup sengsara, jadi wajar Mama sangat membenci Papa lo!"

Aku Bukan DevanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang