Bab 15 : Informasi Dari Bilqis

629 103 2
                                    

Pagi itu  Mocca pulang ke rumah Papa - Mama Devano. Karena dari kemarin, sejak ikut Vava ke Rumah Sakit, Mocca bahkan belum sempat berganti pakaian.

Mau masuk sekolah hari ini? Sudah pukul 9 dan gue bukan malaikat, men! Mocca menggaruk - garuk kepalanya, yang mungkin gatal beneran karena memang belum mandi dari kemarin. Mata udah lima watt, mending gue tidur, eh ato mandi dulu kali ye? Mocca berjingkat - jingkat masuk ke rumah besar itu, berharap dapat selamat menyelinap ke kamarnya di lantai dua, tanpa ketauan Papa Devano yang galak itu.

"Tuan Devano?"  Tiba - tiba terdengar suara bernada sopan dari belakangnya, tapi itupun sudah cukup membuat Mocca nyaris terjungkir karena kaget. Saat pemuda itu menoleh, pandangannya langsung menemukan sosok rapi berseragam, Bik Inah, salah satu pelayan senior di rumah itu.

"Yah elah, Bik! Bikin kaget aja, untung gak jantungan gue!" Mocca lega. "Mana Papa, Bik? Mama? Oh yah, Mama masih di Australi, gue lupa,"

"Tuan Dirgantara sudah pergi ke kantor dari tadi,"

"Buatin sarapan, Bik? Abis mandi, gue mo langsung sarapan, laper!"

"Tuan mau dibuatkan apa? Omelet? Sandwich? Oh pasti Spaghetti ya? Dengan saus Bolognese atau Carbonara?"

Mocca terbelalak mendengarnya, halah, ruwet amat sih makanan orang kaya?

"Gue mo makan nasi ama telor ceplok aja, Bik,"

"Maaf, Tuan?" giliran si Bibik yang terbelalak membuat Mocca ngakak melihat wajah heran pelayan senior itu. "Biasanya favorit Tuan, Spaghetti...,"

"Sekarang udah ganti! Telor ceplok, oke Bik?"

Jelas ganti, gue Mocca, bukan Devano, rutuk Mocca sambil menaiki tangga menuju lantai dua, meninggalkan Bik Inah tercengang mendengar menu sederhananya.

Pelayan senior itu semakin tercengang, saat melihat Mocca yang sudah selesai mandi, melenggang santai, sambil bersiul - siul pula,  masuk ke dapur.

Selama ini Devano yang asli tak pernah satu sentipun menginjakkan kakinya ke dapur  yang notabene  ruangan untuk para pelayan. Anak majikan diharamkan masuk ke ruang dapur, ruang cuci, dan sejenisnya apalagi kamar para pelayan. Jika  Papa - Mama Devano sedang ada di rumah,  Mocca tak mungkin bisa sebebas itu, sudah pasti kena sergah.

Semua pelayan yang sedang bekerja di dapur, buru - buru membungkuk hormat saat Mocca masuk, membuat pemuda itu mengangkat alisnya.

"Yah elah, kok formil banget sih? Santuy aja lage!  Gue cuma lupa, mo bilangin minta dibuatin susu moka juga,"

"Tuan kan bisa bilang lewat intercom..," Bik Inah menunjuk telepon tanpa kabel yang memang terpasang pada hampir semua ruangan di rumah besar itu, untuk mempermudah berkomunikasi antar ruangan.

"Inter...Apa?" Mocca malah baru memperhatikan benda itu saat Bik Inah menunjuknya. "Lalu, apa gue gak boleh masuk dapur?"

"Ya, atas perintah Tuan Dirgantara,"

"Anjir, kaku banget sih?" Mocca duduk di salah satu kursi di situ, membuat semua pelayan saling berpandangan. "Gue sarapan di sini aja, Bik. Soalnya di ruang makan sepi,"

"Sarapan Tuan bisa diantar ke kamar, jika tak ingin di ruang makan..,"

"Udahlah, repot amat sih Bik! Gue mo sarapan di sini, soalnya rame, ok?"

"Ta-tapi nanti Tuan Dirgantara marah...,"

"Halah, dia kan pulangnya malem, gak bakalan tau juga! Apa kalian tega jika Tuan kalian yang tamvan - ganteng - keren selangit ini kesambet setan karena bengong makan sendirian? Kasihan kan?"

Aku Bukan DevanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang