Bab 20 : Dilema

503 84 2
                                    

"Biasalah Va, gue yang tamvan selangit ini punya banyak penggemar," sahut Mocca buru - buru mengambil iphone-nya yang ada di tangan Vava, dan memutuskan vidcall.

Vava mendelik mendengar kata - kata super lebay itu. Tampaknya Vava tidak mendengar percakapan gue dengan Amanda, ppffh, lega! Batin Mocca menyeka keringatnya. Untuk sementara gue selamet, asal Amanda gak nelepon balik.

"Tamvan? Tampan kale  Kak?! Ih Kakak kege-eran banget deyh!" Vava merengut. Mocca cengengesan.

"Tapi bener kan? Buktinya lo juga..,"

"Buktinya Vava kenapa?"

"Lo suka..,"

"Suka apaan, cakepan Kakaknya Vava lage..,"

"Kakak lo?"

"Iya Kak Mocca,"

"Emang apa sih kelebihan Mocca dari gue?"

"Kak Mocca baik banget dengan Vava, walau sering Vava gangguin, tapi Kak Mocca gak pernah marah," Vava terdiam sesaat setelah mengatakan itu. Mocca melihat mata adiknya itu berkaca - kaca. "Vava sayang dengan Kak Mocca karena Kak Mocca selalu ngelindungin Vava, Kak Mocca selalu beliin kesukaan Vava, Kak Mocca selalu...,"

Mocca hanya tertegun, mendengar Vava yang masih terus berbicara, menyebut setiap detail kebersamaan dengan dirinya dulu. Segitu dalamkah rasa lo dengan gue? Masih aja lo ingat segalanya tentang gue.

"Eh, maap ya Kak, bukan berarti Vava ngebandingin Kakak dengan Kak Mocca," Vava menghentikan ceritanya karena melihat pemuda yang mirip Kakaknya itu tampak tertegun menatapnya.

"Gak apa kok, gue ngerti,"  Mocca tersenyum.

Tentu saja gue ngerti, Va, karena gue Mocca. Pemuda itu menghela napas. Tak terasa dia membelai rambut adiknya. Gue sayang lo juga kok, walau rasa sayang itu adalah rasa sayang seorang kakak dengan adiknya. Tapi satu hal yang bisa lo yakini, Va. Walau lo ternyata bukan adik kandung gue, tapi, gue akan tetap ngelindungin lo, Va. Selamanya.

"Wah seperti melihat Mocca kembali ke rumah ini," Emak muncul dari dapur, menangkupkan tangannya ke mulut, melihat Mocca yang sedang membelai rambut Vava.

"Eh, Emak," Mocca buru - buru menarik tangannya.

"Yuk kita makan dulu, itu Emak udah masakin banyak," ajak Emak sambil tersenyum.

"Wah tau aja Emak, Devano udah kelaperan tingkat dewa!" Mocca langsung menuju ke ruang makan, walau belum dipersilahkan. Lupa kalo dia tamu disitu, wkwkwk...

"Lho Kak Devano?" Vava ternganga.

"Biarin deh, Va, mungkin Nak Devano sangat lapar," kata Emak mengurut dada.

******

Amanda menelepon lagi, karena Mocca tiba - tiba memutuskan vidcall,  Mocca tau, tapi pemuda itu tak menjawab panggilan telepon itu, malah menekan tombol silent. Sorry, Amanda, gue gak mau ngerusak moment kebersamaan gue dengan Emak dan Vava saat ini.  Gue akan ngubungin lo nanti.

Mocca sebetulnya terusik juga dengan masalah Amanda yang hamil di luar nikah gara - gara Bobbi. Belum pupus dalam ingatan Mocca, wajah Amanda yang tersenyum sendu saat menatap dirinya lewat layar iphone, ada cinta yang begitu dalam di mata itu. Mocca tak tau bagaimana kisah cinta Amanda dan Devano dulu. Sedalam apa cinta mereka hingga mereka nekad berjanji untuk kabur dari orang tua.

Gimana gue ngadepin Amanda nanti ya? Gue bukan Devano. Amanda memang sangat cantik, tapi gak semudah itu gue menerima dia jadi pacar gue, menggantikan Devano. Gue gak bisa, dan gak ingin jatuh cinta dengan dia. Karena cinta gue hanya  untuk Neysha. Tapi di sisi lain, gue sangat iba dengan masalah yang menimpanya. Anjrit, apa yang harus gue lakuin?

"Kak, udah jam 10 malem, Kakak gak dicariin ntar dengan keluarga Kakak?" Tegur Vava menjawil bahu Mocca yang sedang melamun.

"Ehm udah jam 10 ya? Sorry, lo udah mo tidur ya?" Mocca terjengah dan segera berdiri, walau sebetulnya dia kebingungan hendak kemana malam itu. Pulang jelas tak mungkin. Mo nginep di rumah Dido atau Raffa? Pasti akan mudah ditemukan Papa. Satu - satunya sebetulnya ya di rumah Emak sih yang aman. Mocca melirik Vava dan Emak. Tapi gue gak tega ngelibatin mereka dengan masalah gue.

"Kenapa, Nak? Kok kamu seperti bingung?" Tegur Emak melihat Mocca begitu lama berdiri di depan pintu.

"Ehm, kagak Mak, Devano cuma..,"

"Kamu tidak sedang ada masalah dengan keluargamu kan?" Emak mengerutkan kening. Pemuda itu tak menjawab, tampak sibuk memperhatikan iphone-nya yang berbunyi.

Oh shit, Papa menelepon gue! Papa pasti udah tau gue kabur. Mocca menghela napas. Jadi gimana?

"Mak, boleh gak Devano nginap di sini?" Mocca menatap Emak pasrah.

*****

Untung Emak berbaik hati, mengizinkan Mocca menginap malam itu, tidur di kamar tempatnya dulu saat masih menjadi Mocca. Pemuda itu terharu melihat isi kamar itu, tidak ada yang berubah sejak terakhir dia tinggalkan.

Hanya saja sekarang dindingnya penuh dipajang foto - foto dirinya bersama Vava atau Emak. Lebih tepatnya foto dirinya bersama Vava yang tampak lebih mendominan. Mocca hanya tersenyum simpul, miris melihatnya, dan segera tau siapa yang memajang foto itu. Vava, adiknya, siapa lagi.

Cinta Vava, cinta seorang gadis SMP yang masih begini polos dan lugu. Gimana gue tega mengkhianati Vava jika begini? Mocca menepuk jidatnya berkali - kali, lalu Amanda gimana? Belum lagi Bilqis yang selalu mengganggunya setiap hari. Hingga sekarang, pesan WA dari Bilqis mungkin tak terhitung karena Mocca tidak pernah menjawabnya.

Sebuah notif WA yang masuk membuat Mocca yang tadinya sudah berselonjor santai di tempat tidur, tiba - tiba terduduk.

Papa :

[Pulanglah, Nak. Semua yang Papa lakukan demi kebaikanmu, demi kesembuhanmu dari narkoba. Kamu pewaris tunggal semua perusahaan Papa, karena Stefano adikmu tak pernah kembali. Jadi kamu harapan Papa satu - satunya, Nak. Papa  hanya ingin kamu sembuh dan menjadi kebanggaan Papa, juga Mamamu..]

Mocca mengerutkan kening membaca pesan WA yang ternyata dari Papa Devano, yang mungkin sudah putus asa menelepon tak kunjung dijawab oleh Mocca.

Aku Bukan DevanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang