18. Ex As Enemy

626 129 96
                                    

"Tak akan ada yang sama ketika hati pernah terluka. Rasa sakit sirna, tapi bekasnya akan selalu ada."

- Anindya Puriandini

🍀🍀🍀

Dinding bercat putih tulang dengan bau cat yang masih tercium. Lantai keramik berwarna putih bersih. Dua kamar, ruang tamu yang menyatu dengan ruang tengah, kamar mandi, serta dapur. Perabotan seperti kursi serta lemari pun sudah tersedia.

Anindya tak bisa berkata-kata. Terlalu syok. Ini bukan kosan tapi rumah yang siap dihuni. Lengkap dengan isinya.

"Gue enggak bisa tinggal di sini," ucap Anindya pada Ervin.

"Loh, kenapa? Kurang bagus? Aku carikan yang lain saja. Pokoknya KakCan tenang saja." Ervin segera mengeluarkan ponselnya.

"Bukan gitu, Vin. Gue enggak akan sanggup bayar sewanya," sambar Anindya.

"Kamu enggak harus bayar kok, Nin."

Anindya terkejut. Dia segera berbalik. "Eh, Tante."

"Bunda. Lupa, ya?" Ternyata Bunda Gita sudah ada di belakang Anindya.

Anindya hanya tersenyum. Kalau dulu dia merasa tidak terlalu sungkan, tapi sekarang menjadi lain. Tidak nyaman jika harus memanggil ibunya Ervin dengan sebutan 'bunda'.

"Kamu enggak perlu mikirin uang sewa. Lagian kalau nanti nikah sama Ervin, ini juga bakal jadi punyamu." Bunda Gita mengerlingkan mata pada Ervin. Dan disambut senyum lebar anaknya ini.

Bingung. Anindya tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi dia merasa lega sudah menemukan tempat tinggal beru, tapi di sisi lain tidak nyaman karena perlakuan istimewa yang diterima.

"Aku cari tempat lain saja, Tan eh ... Bun," ujar Anindya.

Bunda Gita merengut. "Tuh kan, Vin. Anin itu enggak bakalan suka tinggal di sini. Kenapa kamu enggak biarain ngisi apartemen yang di BSD?"

"Ervin sudah tawarin, Bun. Tapi, KakCan-nya enggak mau. Lagian kan jauh dari sini," tukas Ervin.

"Kalau gitu, kenapa kamu enggak ajak ke rumah saja? Biar bunda ada temen kalau kamu keluyauran."

"Kalau KakCan pindah ke rumah, Ervin bakalan betah. Enggak akan keluyuran."

Anindya hanya bisa menjadi penonton perdebatan antara ibu dan anak ini. Bingung harus bagaimana. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk duduk di lantai karena merasa pegal sejak tadi berdiri.

"Loh, Nin. Ngapain duduk di bawah?" Bunda kaget melihat Anindya yang sedang duduk di lantai.

"Enggak apa-apa, kok, Bun. Adem aja di bawah," ucap Anindya disertai senyuman.

"Kamu lupa pasang AC, Vin?" tanya Bunda Gita.

"Lah iya. Lupa. Ervin pesen dulu, Bun." Ervin segera mengeluarkan ponselnya.

Anindya menghela. Dia merasa bingung harus bicara seperti apa. Semuanya disalahartikan.

"Besok sudah bisa pindah ke sini, Nin. Bunda bakal sering main ke sini deh. Kamu juga enggak perlu sungkan kalau perlu apa-apa tinggal bilang ke Ervin atau telepon Bunda. Oh, iya berapa nomor hape-mu?" Bunda Gita malah ikut duduk di bawah samping Anindya.

Ervin pun melakukan hal yang sama. Sehingga Anindya menjadi diapit ibu dan anak ini. Sedikit risih, tapi mau bagaimana lagi. Walaupun tahu seperti apa sikap mereka berdua, tapi Anindya masih saja belum terbiasa.

Karena Anindya tidak segera menjawab, Bunda Gita pun bertanya pada Ervin, "Berapa nomornya, Vin?"

Ervin merengut. Lalu menggeleng.

ENCHANTED Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang