"Karena lisan adalah doa, maka kuucapkan selamat tinggal pada luka serta kesedihan. Dan selamat datang untuk masa depan indah penuh kebahagiaan."
-Anindya Puriandini
Suara dering ponsel berkali-kali tidak mampu membuat Anindya Puriandini terjaga. Begitu pula dengan suara ketukan di pintu yang disertai panggilan namanya, tak kunjung pula membuatnya kembali dari dunia mimpi. Barulah saat ketukan berubah jadi gedoran, dan suara panggilan berubah jadi teriakan, dia menggeliat. Bangun dengan mata yang masih sulit terbuka.
"Nin. Anin .... Lo enggak mati, kan?"
Suara teriakan pun terdengar lagi. Setelah itu disusul gedoran di pintu. Mau tak mau Anindya berajak dari tempat tidur. Berjalan ke arah pintu. Kemudian tanpa melihat siapa yang datang dari lubang pintu, langsung memutar kunci. Dan membiarkan orang yang berada di luar untuk masuk. Karena sudah hafal dari suaranya. Siapa yang sudah datang dan mengganggu tidur nyenyaknya.
Tak perlu lama sampai pintu terbuka. Menampilkan sosok seorang gadis berkacamata dengan rambut diikat ekor kuda yang langsung berkacak pinggang. Dia Rika, teman Anindya.
Mata Rika membola. Mulutnya pun menganga. Melihat isi kamar yang tak ubahnya seperti kapal pecah. Buku-buku dan pakaian kotor berserakan di lantai. Sampai bungkus makanan pun ikut bertebaran di sana. Belum lagi tempat tidur yang tak jauh beda. Bantal dan seprai yang sudah tidak berada di tempatnya.
"Ini kamar atau kandang ayam?" Rika, menggelengkan kepala sambil berdecak
Kekagetan Rika tidak sampai di situ. Penampilan Anindya saat ini pun membuatnya menghela napas panjang. Temannya sudah bukan lagi temannya. Wajah kusam dihiasi bekas iler, rambut acak-acakan. Mengenakan celana panjang kedodoran ditambah kaus gombrang. Jauh dari Anindya yang biasanya.
"Ya, Tuhan. Lo udah berapa lama enggak mandi?" tanya Rika yang kini tengah sibuk memunguti pakaian kotor serta sampah di lantai kamar ini.
Anindya tidak menjawab. Dia malah kembali berbaring di tempat tidur. Namun gagal untuk tidur lagi karena Rika langsung menarik tangannya. Sehingga Anindya terduduk di sana.
"Lo itu udah kayak 'hidup segan, mati pun tak mau', Nin. Enggak gini caranya juga. Bukannya lo bilang kuat buat lalui apa yang sudah terjadi?" Rika terus menggerutu sambil membereskan kekacauan di dalam kamar.
"Berisik, Ri. Masih pagi juga."
Rika berbalik. Menatap kesal temannya ini. "Pagi? Lo lihat tuh jam berapa? Ini sudah jam 2 sore. Beruntung kosan kosong. Kalau enggak, gue bisa kena marah orang-orang karena teriak-teriak." Telunjuk kanannya terarah lurus ke jam yang menggantung di dinding.
Anindya tidak menghiraukan omelan temannya ini. Dia masih sangat mengantuk. Semalaman bergandang untuk nonton drama. Dan baru tidur saat jam lima pagi. Tentu saja, ini membuatnya mengantuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENCHANTED
RomanceRencana pernikahannya yang gagal membuat Anindya terpaksa menjual gaun pengantinnya. Namun ternyata pembelinya itu Aldyo, mantan pacarnya sewaktu SMA. Anindya mulai goyah dengan kehadiran Aldyo. Melupakan luka lamanya. Dan saat hatinya kian mantap...