"You're jealous that he likes me?"
- Anindya Puriandini
🍀🍀🍀
"Kamu enggak mau pulang? Sudah mau magrib."
"Lho kok ngusir?"
"Bukan ngusir, tapi emang mau magrib. Enggak enak kalau kamu kemalaman di sini?"
"Enggak enak sama siapa? Tetangga? Biarin aja. Lagian kalau pada berani protes, tinggal suruh pindah. Enggak repot, kan?"
Anindya menghela. Tidak ada gunanya berdebat dengan Ervin. Selalu saja ucapannya dibantah. Selalu juga ada jawaban yang kadang memicu emosi serta rasa jengkel. Pacarnya ini sudah mulai berani.
"Aku lapar. Pesen makanan, yuk. Mau apa?" tanya Ervin, sudah siap dengan ponselnya. Niatnya memang ingin pesan makanan via aplikasi online. Biar praktis.
Anindya menggeleng. "Aku mau masak mi. Masih ada sisa sosis, sawi, sama telur di kulkas."
"Aku mau juga," sahut Ervin. "Enggak pedes ya, Yang."
Anindya mendengus. Berasa geli mendengar kata terakhir Ervin. Dia masih belum terbiasa. "Satu atau dua?"
Ervin menjawab dengan mengacungkan dua jarinya.
Memang sudah diduga kalau akan menjawab seperti itu. Satu porsi tidak akan cukup untuk Ervin. Meski seharian ini kerjaannya cuma rebahan sambil bermain game. Buktinya dia berhasil menghabiskan satu bungkus biskuit, dua bungkus keripik kentang, dua porsi roti lapis, serta sepiring nasi goreng.
Kurang dari dua puluh menit, mereka berdua sudah duduk di karpet menghadap dua mangkuk mi. Porsi punya Anindya memang sedikit, tapi warnanya merah. Penuh dengan bubuk cabe. Sedangkan punya Ervin lebih banyak dengan toping melimpah.
"Kamu yakin bisa ngabisin semua?"
"Perutku lapar. Segini sih enggak butuh waktu lama."
"Badan kecil, tapi makannya banyak."
Ervin tergelak. Lalu, tanpa terduga mencuri satu kesempatan mencium pipi Anindya. "Makasih."
Tentu saja Anindya kaget. Ingin marah, tapi urung saat melihat senyum di bibir Ervin. Akhirnya, dia fokus pada mangkuk mi. Satu suap masuk ke dalam mulutnya. Memang paling pas menikmati makanan hangat di waktu hujan seperti ini.
"Boleh nyobain?" Ervin menyendok mi di mangkuk Anindya tanpa menunggu jawaban darinya. "Yang ...." Dia menganga. Telapak tangannya mengipasi mulutnya yang terasa terbakar.
"Syukurin." Anindya tak acuh. Lanjut menghabiskan minya.
Ervin segera menyambar gelas berisi air. Lalu, meminumnya sampai habis. Masih belum cukup. Dia berlari ke lemari es. Mengambil satu botol air mineral yang langsung diminumnya sampai tersisa setengah. Mukanya memerah. Begitu pula dengan bibirnya.
"Gila pedes banget. Ini makanan bisa buat orang mati."
"Ngomong apa?"
"Hehehe enggak."
Tak ingin menyulut emosi Anindya, terpaksa Ervin diam. Dan kembali menghabiskan makanannya. Perutnya terasa sudah kenyang karena air. Namun, dia tidak ingin membuang-buang makanan. Jadi, dijejalkan saja semua ke dalam perut.
Begah rasanya.
Setelah habis makan, Ervin duduk bersandar ke dinding. Perutnya benar-benar penuh. Beberapa kali bersendawa. Tidak ingin bergerak. Apalagi pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENCHANTED
RomanceRencana pernikahannya yang gagal membuat Anindya terpaksa menjual gaun pengantinnya. Namun ternyata pembelinya itu Aldyo, mantan pacarnya sewaktu SMA. Anindya mulai goyah dengan kehadiran Aldyo. Melupakan luka lamanya. Dan saat hatinya kian mantap...