Rencana pernikahannya yang gagal membuat Anindya terpaksa menjual gaun pengantinnya. Namun ternyata pembelinya itu Aldyo, mantan pacarnya sewaktu SMA.
Anindya mulai goyah dengan kehadiran Aldyo. Melupakan luka lamanya. Dan saat hatinya kian mantap...
Tak ada yang sederhana tentang komitmen pernikahan. Ini bukan permainan rumah-rumahan. Jika sudah bosan, langsung bubar jalan.
-Anindya Puriandini
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kenapa lo, Nin?"
Anindya menyimpan kain basah yang dipakai kompres mata ke dalam mangkuk di meja depannya. Kemudian menegakkan punggungnya. Menatap sosok cowok blasteran yang sedang berdiri di depannya.
"Lo tumben datang siang-siang gini?" Anindya malah balik bertanya.
Bethovino alias Ino masih berdiri di depan Anindya. "Mata lo sembap. Abis nangis?"
"Gue abis ngedrakor. Sedih banget." Anindya berdeham. Mengalihkan pandangan dari wajah Ino. Tak ingin bersitatap dengannya.
"I can tell you'relying. Lagi ada masalah?"
"Lo ada waktu berapa lama?"
Ino melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Lima belas menit. Sorry. Gue harus balik lagi ke Teslé afterlunch. Kenapa? Ada yang mau lo ceritain?"
"Kalau gitu, gue boleh minta saran lo ya."
Akhirnya Anindya mengikuti Ino yang masuk ke dalam ruangan. Kantor dia dulu yang sekarang menjadi kantor Any di BobaMoza. Tidak enak jika membicarakan masalah cukup serius di depan meja kasir.
"Gue bingung, No," ucap Anindya ketika mereka sudah berada di dalam ruangan.
"Kenapa?" Ino duduk di depan komputer lipat. Dia hanya memeriksanya sebentar. Sekadar mengecek laporan keuangan.
Anindya menarik napas. Pindah tempat duduk. Dari sofa yang berada di sudut ruangan ke kursi tepat depan meja Ino. "Nyokap nyuruh pulang."
Ino mematikan komputer lipat. Fokus ke Anindya "Nyokap lo mungkin kangen. Ambil cuti sesekali untuk pulang. Nyokap lo kan enggak salah juga."
Anindya menghela. "Enggak sesederhana itu, No. Kalau gue pulang artinya berhenti kerja juga. Gue masih betah di sini. Belum mau resign."
Mendengar kalimat Anindya, Ino tampak terkejut. "Have you talked about thiswith Any? Gue yakin dia enggak mau lo resign. Lo setuju dengan permintaan nyokap lo buat berhenti dari sini?"
Anindya mengambil napas. Memberi jeda sebelum menjawab. "Belum gue sanggupi. Tapi, nyokap bakal maksa. Kayaknya gue mau dijodohin." Ada getar sedih di akhir kalimat.
Mata Ino menyipit. "Nonsense. Kayaknya belum sebulan lo batalin nikah. Masa sekarang dipaksa buat segera berkeluarga?"
Anindya menunduk. Wajah galaknya hilang untuk saat ini. Tersisa gurat kesedihan yang mendalam. "Lo enggak tau kehidupan di kampung. Anak gadis di atas dua puluh tahun itu dianggap sudah waktunya berumah tangga. Kalau enggak, bisa dikatakan perawan tua."