12. I am (Not) Okay

606 146 115
                                    

Senyum memang cara terbaik untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.

-Anindya Puriandini

🍀🍀🍀🍀

Matahari hampir di atas kepala. Anindya terpekur di tepi jalan. Jongkok depan sebuah toko. Di tangannya ada plastik berisi es teh manis lengkap dengan sedotan. Jajanan waktu sekolah dulu.

Tidak haus. Tidak juga ingin meminumnya. Anindya merasa kasihan pada penjual es teh ini. Pria paruh baya yang tampak sedih karena dagangannya kurang pembeli.

Jalanan begitu ramai. Anindya seperti anak hilang. Tempat ini jauh dari BobaMoza. Tepatnya sekitar 100 meter dari Téslé-gedung tempat Ino bekerja.

Anindya mengurungkan niatnya untuk bertemu Ino. Padahal sudah hampir sampai. Dia merasa tidak ada gunanya lagi melibatkan mantan bosnya. Ditambah penolakan Ino waktu itu. Mempertegas jika usahanya hanya akan menemukan kegagalan.

Ide buruk berkata jika sudah punya calon.

Plastik berisi es teh manis pun kosong. Tanpa sadar Anindya meminumnya. Kedua matanya boleh saja melhat kearah jalan raya, tapi hanya tatapan kosong. Pikirannya kalut, kusut, bercampur bingung.

Dua minggu sudah berlalu sejak obrolannya dengan Aap. Adik laki-lakinya itu akan kembali datang menjemput beberapa hari lagi. Kepulangan ke Bandung tak bisa ditolak lagi.

"Ahh...." Desahan pelan terdengar.

Anindya masih berjongkok ria. Mengabaikan tatapan mata yang melihatnya heran. Dia masih belum mau beranjak. Sampai sebuah mobil biru dongker berhenti tepat di depannya.

Taka da yang terjadi dengan Anindya. Dia tetap tak acuh. Bahkan sampai pengemudinya turun lalu menghampirinya.

"Kamu ngapain di sini, Nin?"

Anindya hampir terjengkang karena kaget. Suara familier ini tak sedikit pun ingin didengarnya. Jika bisa, ingin menghapusnya dari ingatan.

Sigap berdiri. Wajah kaku dengan tatapan penuh kebencian. Anindya menatap sosok laki-laki berkemeja krem di depannya.

"Bukan urusan lo."

Anindya segera berbalik, tapi laki-laki ini langsung menjegatnya.

"Aku memang salah. Hilap. Dan sudah menyadari semuanya," ucapnya.

Anindya tertawa sarkas. "Terus?"

"Kita mulai lagi dari awal. Aku janji enggak akan mengulanginya lagi."

Jemari Anindya mengepal. Rasanya dia ingin langsung memberikan hadiah di pipi mantan calon suaminya. Laki-laki tak tahu diri yang sudah mengkhianatinya.

"Minggir. Atau gue tonjok!" Sebisa mungkin Anindya meredam emosinya yang mulai merangkak naik.

"Plis, Nin. Dengerin semua penjelasan aku. Begitu susah buat hubungin kamu. Nomor aku kamu blok. Ke kosan selalu diusir Bu Mirna. Ke kafe aku ...."

"Cari mati. Lo itu dilarang menginjakkan kaki ke BobaMoza. Dua Bodyguard gue dengan senang hati bakal gebukin lo sampai babak belur." Anindya menyebut Gangga dan Hovawk sebagai bodyguard-nya. Meskipun tidak salah karena kedua pemuda itu akan dengan suka rela menjaganya dari laki-laki brengsek ini.

Drie menghela. Dia masih belum menyerah. "Aku janji, Nin. Kalau kamu butuh bukti, ayo sekarang kita ke KUA."

Sekuat tenaga Anindya mencoba untuk tidak melayangkan tamparan. "Satu hal yang perlu lo ingat. Cowok nakal itu bisa diubah, tapi cowok selingkuh pasti bakal kumat."

ENCHANTED Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang