19. Taken

313 71 17
                                    

"Dunia indah saat bersamamu. Maukah menghabiskan waktu selamanya denganku?"

- Adhiangga Ervin Pratama

🍀🍀🍀

Anindya menatap heran. Di tangannya ada paper bag kecil berisi sebuah ponsel pintar keluaran terbaru. Dia masih enggan membukanya. Bukan hanya itu menyentuhnya saja, Anindya takut. Takut rusak.

"Ayo buka!" Ervin mengomando disertai senyum paling manis untuk gadis pujaan hatinya ini.

Bukannya menuruti yang Ervin katakan, Anindya malah memberikan kembali paper bag di tangannya. "Gue enggak perlu."

Sekejap itu juga senyum Ervin lenyap. Binar matanya meredup. "KakCan benci aku, ya?"

"Lo ngomong apa sih, Vin?"

"Habisnya selalu menolak pemberian aku."

Helaan napas terdengar. Anindya berbalik menuju kursi yang berada di belakangnya. Berbicara sambil berdiri itu tidak enak. Walaupun keadaan kafe sedang sepi pengunjung. Sore ini langit tampak kelabu. Tidak hujan, tapi angin bertiup cukup kencang.

"Duduk sini deh," Anindya menepuk kursi di sampingnya.

Ada senyum yang segera Ervin sembunyikan. Dia berjalan perlahan mendekati Anindya, lalu duduk di sampingnya. Menundukkan kepala. Paper bag di taruh dekat kakinya.

"Gini ya, Vin. Gue enggak paham, kenapa lo ngasih hape yang harganya bisa buat beli satu motor?" Anindya menjeda. "Gue itu bukan siapa-siapanya lo. Enggak pantas dikasih barang semahal itu. Lagian hape gue masih bagus. Masih bisa bunyi. Biarpun suka eror juga."

Ervin menoleh. Menatap ke dalam mata Anindya. Hal yang membuat pemiliknya harus melempar tatapan ke arah lain. "Apa aku yang harus memantaskan diri buat bisa bersanding denganmu, KakCan? Tolong katakan, apa yang harus aku lakukan agar kamu mau membuka hati?"

Suara Ervin lemah, Seakan sudah kehilangan harapan. Putus asa tentang apa yang dia perjuangkan. Walaupun sejujurnya hatinya menolak untuk itu. Dia merutuki setiap kata yang keluar dari mulutnya barusan. Pikiran buruk pun mulai menghantui. Bagaimana jika Anindya mengatakan sesuatu yang membuat hatinya terluka?

Sebelum menjawab, Anindya membalas tatapan Ervin. Beradu tatapan dengan sosok di depannya ini membuatnya tidak sadar melengkungkan senyum. Dia hanya melihat wajah Ervin yang mulai merona. Dan saat itu juga Anindya mendengar suara deheman.

Ervin memutus kontak mata.

"Gue mau tanya dan lo harus jawab dengan sejujur-jujurnya." Anindya melihat Ervin yang mengangguk mantap sambil memposisikan duduknya agar bisa menghadap ke arahnya. "Lo beneran suka gue? Mau nerima gue apa adanya? Gue enggak cantik. Gue enggak kaya. Gue juga gampang emosian. Satu lagi ... doyan makan."

Ervin mengangguk cepat beberapa kali. Tingkahnya persis anak kecil yang ditawari apa yang dia mau. "KakCan enggak perlu tanyakan itu semua. Aku juga enggak akan jawab. Semuanya akan dibuktikan dengan perbuatan."

Anindya mengangkat sebelah alisnya. "Kalau misalnya lo melanggar, gue dapet kompensasi enggak?"

"Kompensasi?" Ervin mengulang pertanyaan Anindya. "Tentu saja. Aku akan buat perjanjian hitam putih terus sebagai kompensasinya apartemenku yang di BSD bakal jadi milik KakCan. Sebagai jaminan juga mobilku yang di luar, aku kasih ke KanCan. Boleh dipakai sesuka hati. Ini STNK-nya. BPKB ada di rumah, nanti kita ambil ya."

Anindya seperti orang kesambet. Matanya melotot, bibirnya sedikit terbuka. Reaksi yang dia berikan atas ucapan Ervin barusan. Padahal Anindya tadi hanya bercanda, tapi Ervin menanggapinya serius.

ENCHANTED Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang