~ Chapter 2

1.5K 247 24
                                    

[Content warning: bullying]

[Content warning: bullying]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


[]

Semua berubah gelap dan hampa dalam satu kedip mata. Justin tidak bisa menggerakkan tubuh. Sesak terasa di dada. Berusaha mati-matian ia menghirup oksigen, tapi tidak bisa. Sampai sebuah cahaya menyilaukan datang bersamaan dengan hilangnya sesak di dada.

Di ujung sana, Justin dapat melihat sebuah rumah tradisional khas Jepang. Pintu gesernya terbuka, seseorang tengah duduk dengan kaki berayun di teras rumah. Kaki Justin bergerak dengan sendirinya. Sosok perempuan muda itu semakin jelas di mata, apalagi ketika dia mendongak dengan mata bulat dan senyum manis. Justin salah tingkah dibuatnya. Semetara si pemilik senyum teduh malah tertawa.

"Halo, Justin." Suaranya manis. Justin rela mendengarkannya berkata "Halo, Justin" selama 24 jam. Sebelum itu, bagaimana perempuan ini tahu namanya?

"Halo ...?"

"Saya Lily," ujarnya, lalu menyodorkan tangan terbuka. Seolah tersihir, Justin tanpa ragu menyambutnya seraya berkata, "Justin."

Tiba-tiba saja perempuan itu berdiri tepat di depan Justin. Dia tanpa ragu melangkah di atas rerumputan tanpa alas kaki. Di matanya tersirat rasa penasaran, disusul oleh kedua kakinya yang berjinjit dengan mata fokus menelisik wajah Justin.

"Kenapa lo?" tanya Justin dengan sebelah alis terangkat. Dengan posisi mereka sekarang, ia dapat dengan jelas melihat wajah manis berambut pendek di hadapannya.

"Kamu mirip teman saya," kata Lily, lalu tersenyum hingga matanya terpejam. Tubuhnya langsung oleng ke depan dan menubruk tubuh Justin. Cowok itu sangat awas sehingga bisa dengan cepat menahan bobot tubuh Lily dan mereka berdua tidak jatuh ke tanah.

Lily tertawa di sana. "Terima kasih."

Berakhir dengan mereka berdua yang duduk bersisian di atas teras rumah. Justin menoleh ke arah Lily di sampingnya. Hanya dengan melihat Lily yang sibuk memandang langit wajah Justin dapat langsung memerah. Gaun selutut tanpa lengan yang dikenakannya terlihat sangat cocok. Rambut pendeknya juga. Wajah tanpa riasan menambah aksen polos pada gadis itu. Justin ... terpesona.

"Kenapa?" Lily terkekeh mendapati Justin yang langsung memalingkan wajah begitu mereka bersitatap selama beberapa detik.

"Gak, gak apa-apa."

Perempuan itu menyeringai. "Masa, sih? Hmmm??" Lily menggeser tubuh mendekati Justin. Seiring mendekatnya Lily, Justin ikut bergeser menjauh. Sampai sebuah tiang penyangga menahan pergerakan Justin dan Lily menang telak dengan berhasil memojokkan cowok itu.

Sebuah telapak tangan lain menyentuh permukaan pipi kanannya. Justin menoleh, mendapati Lily dan dahi berkerutnya. Kedua iris mata tidak fokus pada mata Justin, melainkan pipi kanannya. Lily mengusapnya perlahan. Aneh, Justin tidak merasa sakit sama sekali. Luka bekas tonjokan brutal itu seolah hilang dari wajahnya.

That Woman in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang