~ Chapter 13

485 120 14
                                    

[Happy reading!!]

*

Katanya, orang cerdas cenderung berpikir kritis dan tidak mudah mempercayai berita yang tidak jelas asal-usulnya. Lihatlah di sekitar Justin. Ada Baim yang masuk jajaran orang pintar di kelasnya. Ada Sasha si juara umum. Ada Wulan yang pernah memenangi lomba debat. Dan mereka bertiga kompak bersorak 'ya' pada seorang wanita yang katanya peramal.

Sembari menunggu wanita peramal itu tiba, waktu dihabiskan untuk menjelajah seisi De Runch. Sengaja datang dua jam lebih awal dari waktu janjian. Sejauh mata memandang yang dapat Justin lihat adalah kuda. Justin tidak ikut naik kuda ataupun delman. Ia dapat peran penting di sini. Tukang foto.

"Tin, naiklah ayo!" ajak Sasha, masih mau berusaha.

Justin menggeleng. Kamera milik Wulan diangkat, "Gue ngambil gambar aja."

Sasha di depan pintu antrian masih ragu untuk meninggalkan Justin. "Tapi-"

Kamera diangkat setinggi wajah. Justin memberi aba-aba, "Ya, satu, dua-"

Reflek, Sasha berpose peace dengan senyum lebar.

"-tiga. Oke bagus." Justin memeriksa hasil foto sambil memutar badan dan menjauh dari Sasha.

"Justin!" pekik Wulan. Justin menoleh. "Kamera bapak gue jangan dirusak!" pesannya. Justin mengacungkan ibu jari ke angkasa sambil terus berjalan.

Tidak jauh dari tempat tadi, Justin duduk di sebuah kursi panjang berbahan dasar kayu. Menghadap pada pemandangan hijau pepohonan. Langit di atas sana bersih tanpa awan. Jarang sekali. Justin terpana. Tanpa sadar kepalanya mendongak menatap langit sejak tadi. Tangannya menggenggam erat kamera milik-papanya-Wulan.

Kamera diangkat. Lensa diarahkan tanpa objek yang jelas. Justin mengintip dengan sebelah mata. Hijau dan biru. Pepohonan dan langit. Segerombol orang berlalu lalang. Siswa sekolah menengah pertama. Macam acara jalan-jalan dengan tema menghabiskan uang kas. Frame terisi penuh. Langit di atas sana tertutup total, mengintip sedikit lewat celah.

Suara riuh dari mereka. Yang perempuan heboh sekali tertawa sambil terus melangkah. Rambut sebahunya bergoyang begitu tawa mengudara. Menoleh kembali ke depan. Profil sampingnya membuat terpaku. Tombol di sudut kamera refleks ditekan. Justin diam sebentar. Pemandangannya tak terganggu lagi. Sinar matahari menyilaukan mata. Barulah saat itu Justin kembali sadar.

Ia tidak salah lihat. Hasil jepretan barusan Justin periksa kembali. Menajamkan penglihatan. Rambut sebahu itu. Poni menutupi dahi. Pipi gembil. Lily. Itu Lily, meski rambutnya lebih panjang dari yang Justin lihat dalam mimpi.

Justin berdiri. Sekelompok siswa-siswi SMP itu belum jauh darinya. Berlari sedikit, Justin akan langsung dapat sampai pada mereka. Tanda tanya besarnya selama ini akan terjawab. Lily bukan hantu, bukan juga fiksi belaka. Justin dapat mengejar Lily. Justin dapat menghapus segala ragunya. Andai Baim tidak merangkulnya tiba-tiba dan menyeretnya pergi makan siang.

Kunjungan De Runch berakhir. Kini mereka makan siang di restoran keluarga. Keempat remaja sudah duduk rapi di meja ujung ruangan. Supir Sasha memilih duduk terpisah dari mereka. Tidak ada yang memesan sebelum peramal itu datang.

Justin hilang semangat sejak kembali dari De Runch. Berubah sensitif pada Baim. Sasha menggodanya dengan bilang kalau Justin masih ingin bermain dengan kuda. Kalau saja tadi Baim tidak asal merangkulnya. Ditambah dengan ketiga temannya itu sangat menaruh harap pada manusia yang katanya punya keahlian khusus itu. Justin tidak cocok di sini.

Seorang perempuan dengan rambut keriting sebahu datang melewati pintu masuk. Dia melongo, mencari-cari keberadaan seseorang. Sasha berdiri, lalu melambai heboh. Bergegas menjauh dari himpitan meja dan kursi. Dia dan si perempuan keriting saling sapa khas kawan lama yang baru bertemu setelah berpisah beribu-ribu tahun.

That Woman in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang