~ Chapter 16

415 107 16
                                    


PERHATIAN! Berisi pemikiran untuk menyakiti diri/self-harm

Selamat membaca!

[]

Justin berbaring bosan di atas kasur. Letih masih tersisa di badan, bekas dari perjalanan tiga hari ke Bandung kemarin. Kalau dipikir, kasurnya sekarang kalah empuk dengan kasur di villa sewaan Sasha. Tapi bau-bauan khas—bau iler—di atas kasur ini tidak ada yang bisa menandingi.

Ia membalik tubuhnya, berguling sampai dekat dengan meja di ujung kasur. Ponsel pintarnya diraih dengan sebelah tangan. Mengecek jam digital ponsel, sudah lewat dua puluh menit dari waktu janjiannya dengan Nenek. Harusnya pukul sebelas Nenek sudah menjemput, tapi sudah hampir setengah dua belas siang dan tak ada tanda-tanda datangnya Nenek ke rumah.

Justin berguling lagi ke arah tembok. Gorden tipis disingkap, kepalanya melongo mengecek ke luar lewat jendela. Masih tidak ada tanda-tanda presensi wanita yang hampir menginjak usia enam puluh enam itu.

Maka ia kembali menggulingkan tubuh di atas benda empuk itu. Suasana sunyi yang sudah lama ia rindukan selama tiga hari terakhir, membawa kantuk yang siap menggelendoti mata. Detik-detik menuju terlelap diselipi suara panggilan serta ketukan pintu berulang.

Ketika pintu dibuka, yang pertama kali menyambutnya adalah pelukan hangat dari Nenek. Kecupan ringan diberikan pada pipi, dahi, kemudian kembali ke pipi. Seakan telah sangat amat lama tak bertemu, Nenek kembali memeluknya erat.

"Apa kabar, Nak?" tanyanya dengan suara paling lembut yang pernah Justin dengar selama belasan tahun hidup.

"Sehat, Nek."

"Maaf, ya, telat, macet Jakarta tuh," kata Nenek.

Justin digiring masuk ke dalam seraya Nenek masih terus bercerita. Tentang bagaimana macetnya ibukota, juga sulitnya menahan pipis di tengah kendaraan bermesin yang tengah berbaris menunggu dapat berjalan. Di akhir cerita, Nenek menggambarkan bagaimana perasaannya saat tahu Justin bersedia ikut berziarah ke makam mendiang ibunya.

Ia melirik lewat ekor mata. Sepasang bulat yang terlapis kelopak dengan ujung keriput itu tampak berkaca-kaca. Justin langsung buang pandangan saat Nenek menoleh.

"Mau makan siang dulu atau langsung berangkat aja?" tanya Nenek.

Sebenarnya, Justin belum siap. Sangat belum siap. Melihat gundukan tanah yang dibawahnya terdapat jasad sang ibu yang mungkin sudah tersisa tulang-tulang. Melihat papan nama dengan tanggal lahir serta hari kematian. Ataupun menyebar bunga di atasnya. Yang manapun itu, Justin belum siap.

Ia bisa saja mengiyakan tawaran Nenek walaupun setengah jam lalu baru saja makan lima buah roti tawar. Tapi agaknya Justin sudah lelah berlari. Menghindari takdir Tuhan di depan mata yang seberapa banyak pun menghindar akan terus tetap menghantui.

"Langsung aja, Nek. Belum lapar."

Ketika duduk pada kursi tengah mesin beroda empat, Justin sudah tidak bisa lari lagi. Meski sebenarnya ia sangat ingin.

Rasa rindunya membuncah. Ketakutan juga ikut mendominasi. Mereka saling berlomba untuk menguasai jiwa. Mungkin Justin bisa menangis di pemakaman saking rindunya. Atau berteriak keras akibat firasat buruk yang sejak kemarin mendiami benak.

*

Nenek tidak pernah bisa berhenti khawatir. Tahun demi tahun berlalu. Tidak pernah sekalipun Justin mengiyakan ajakannya untuk pergi berkunjung ke makam sang ibu. Justin menolak. Selalu. Dari alasan A sampai alasan Z. Sampai akhirnya Nenek paham. Cucunya itu tidak siap untuk melihat tempat peristirahatan terakhir ibunya.

That Woman in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang