~ Chapter 15

421 98 0
                                    

[Happy reading!]

*

Hari terakhir berlibur. Sasha bilang, sekitar jam dua belas nanti mereka akan check out. Setelah dua hari berpergian, akhirnya Baim dapat menceburkan diri ke dalam kolam renang dengan dalam 1,5 meter. Justin berniat ikut berenang kalau-kalau Wulan memilih untuk tetap kering. Di luar dugaan, cewek itu yang masuk ke air pertama kali. Karena itu, Justin duduk di kursi pinggir kolam dengan sepiring sarapan.

Ketiga orang dalam kolam tampak heboh sendiri. Mereka main lempar tangkap dengan bola yang entah dapat dari mana. Masing-masing mengenakan baju tidur semalam karena tidak bawa baju renang. Sementara Justin di pinggir sana merengkuh tubuh. Sudah dilapisi jaket pun dingin masih mampu menyentuh kulitnya. Lantas heran pada ketiga manusia aneh tapi pintar yang terlihat enjoy berendam dalam air dingin.

Tangannya keluar dari dalam saku jaket. Ia meraih sepotong roti isi yang tadi pagi-pagi sekali dipersiapkan Wulan. Omong-omong, Justin tidak tahu kalau Wulan yang membuatnya, dan jangan sampai dia tahu.

Mulutnya mengunyah perlahan gigitan roti pertama. Kalau ada yang memanggil sekali, Justin tidak akan menyahut. Dan di panggilan kedua ia akan tersentak. Cowok itu sedang bengong. Ia memikirkan mimpinya kemarin.

Sore, sepulang dari rumah sepupu Sasha. Justin duduk di sofa depan televisi. Baim di sampingnya memegang remot, mengganti saluran sampai bertemu kartun SpongeBob SquarePants. Justin menjatuhkan bahu pada sandaran empuk sofa. Ia terus memperhatikan Baim yang terkadang tertawa melihat aksi bodoh Patrick. Sampai-sampai tanpa sadar terlempar ke alam mimpi.

Yang membuat percakapan sederhana sambil memandang sungai itu menjadi menarik adalah perkataan terakhir Lily sebelum Justin dibangunkan Baim.

"Justin, kamu benar-benar mirip sama teman saya."

Justin menolehkan kepala. Lily yang duduk di atas kursi kayu panjang sibuk mengayunkan kaki polosnya bergantian. "Mirip gimana?"

"Suka terlalu abai sama sekitar. Coba lihat di sekitar kamu, ada banyak teman-temanmu yang peduli sama kamu, tapi kamu nganggap seolah mereka cuma singgah sebentar," kata gadis itu sambil terus menatap langit tanpa awan.

Yang terbesit pertama kali di kepalanya adalah Baim, kemudian berganti dengan wajah Sasha yang tersenyum lebar. Senyum itu luntur berbarengan dengan wajah judes Wulan yang tampak.

"Manusia emang singgah sesaat dalam hidup manusia lain. Tapi mereka punya batas waktu yang beda-beda. Teman-teman kamu, mereka singgah bukan sekedar satu atau dua hari. Kamu menaruh ekspektasi bahagiamu ke saya, dan menurut saya itu salah besar. Kalau nanti ada apa-apa," Lily menoleh, kemudian menarik senyum lebar, "Jangan ragu buat sandarin kepalamu ke mereka, ya?"

Dan Justin tidak menyukai senyum itu. Kata-katanya barusan seolah ingin mengucapkan kata perpisahan.

"Kenapa ngomong begitu ...?" kata Justin dengan ragu yang kental pada pangkal lidahnya.

Lily memberi jeda waktu yang cukup lama. Langit di atas sana seolah lebih menarik daripada Justin di sisinya. Kemudian, udara sejuk mampir menyibak helai-helai rambut pendeknya. Justin dapat lihat jelas kristal bening meluncur apik melewati pipi gembil yang tersenyum itu. "Saya cuma mau Justin bahagia, soalnya."

Wajah tersenyum dengan air mata milik Lily, entah mengapa menenangkan hati. Menangis karena merasa sedih, ataukah air mata kebahagiaan. Justin tidak tahu yang mana. Senyum itu, senyum tercantik yang pernah Lily perlihatkan padanya.

That Woman in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang