~ Chapter 20

582 70 1
                                    

Hari ini tamu Justin banyak sekali. Tiga sekawan dengan kepribadian berbeda, datang bergantian. Dimulai dari Baim, selang beberapa waktu, datanglah Sasha. Yang terakhir adalah Wulan. Mereka sama-sama bertanya, tentang masalah apa yang tengah menimpa Justin. Sepulangnya Wulan (Justin tidak yakin apakah ia betulan sudah pulang), Justin merenung di kamar. Tentang keadaan dirinya akhir-akhir ini. Tentang Lily. Tentang ketiga temannya yang begitu sungguh-sungguh bertanya apakah ia baik-baik saja.

Justin yang beku diiringi oleh orang-orang hangat yang tulus. Kenapa pula ia harus bersedih? Dirinya yang lain bertanya. Ketika ada orang yang ingin membantu mencairkan es dalam dirinya, Justin menutup pintu itu rapat-rapat. Karena ia nyaman dalam dingin, walaupun tengah diselimuti gelap. Karena dalam kegelapan itu ada memori-memori masa silam yang begitu indah. Yang bisa bertahan pada dinginnya diri Justin dalam kulkas beku.

Justin merebahkan diri di atas kasur yang telah berganti sprei oleh Baim. Tangannya terulur meraih bantal bersarung coklat muda. Detik selanjutnya terdengar suara ketukan pintu yang begitu lemah. Jauh dari kata brutal seperti yang Baim lakukan. Justin mengurungkan niat untuk menutupi wajah dengan bantal. Ia menghembuskan napas, sebelum akhirnya bangkit dengan perlahan.

Langkahnya begitu malas, namun pasti. Justin meraih gagang pintu, membukanya dengan perlahan. Dalam benak ia menerka dan bertanya, siapa gerangan yang mampir lagi ke rumahnya. Baim, Sasha, dan Wulan, kemudian siapa lagi? Mungkin saja kini mereka bertiga akan muncul bersamaan, tidak satu demi satu seperti tadi. Justin sudah siap untuk mengomel kalau tamunya kali ini betulan mereka bertiga.

"Lo pada—" ucapannya tergantung di tenggorokan. Justin bungkam begitu mengetahui siapa yang telah mengetuk pintunya barusan. Wajah masamnya langsung berubah seketika. "Loh, Nenek?"

Matanya membulat perlahan. Ini sungguh jauh dari terkaannya. Tanpa banyak pikir, Justin membuka lebar pintu, bergeser agar Nenek bisa masuk ke dalam. Nenek tersenyum tanpa suara, lalu mulai melangkah masuk. Ia bergerak perlahan dengan tubuh ringkihnya. Seolah tak tahan berdiri terlalu lama, Nenek segera mendudukkan diri di atas sofa kecil. Justin kembali dari dapur membawa segelas air. Minuman yang selalu Nenek pinta apabila bertamu ke rumahnya.

"Nenek kenapa tiba-tiba ke sini?" tanya Justin.

Wanita tua itu tersenyum kecil. Tidak langsung menjawab, seolah sengaja. Ia malah meraih segelas air dan meneguknya perlahan.

"Semalam Nenek dapat mimpi," ujarnya penuh perhatian, mengundang Justin untuk fokus mendengarkan ceritanya. Ia duduk perlahan di dekatnya. Nenek tersenyum melihat itu. Wanita itu kemudian melanjutkan, "Di dalam mimpi, Nenek bertemu ibumu, anak perempuan Nenek."

Justin mengangkat pandangan setelah sekian lama memandang lantai di bawah sana. Mimpi, dan Ibu. Lewat mimpi, ia bertemu seorang gadis cantik periang bernama Lily. Lily, yang baru-baru ini Justin mengetahui bahwa ia adalah sahabat karib sang ibunda. Terkadang ia berpikir, apakah mimpi adalah cara orang-orang mati untuk berkomunikasi dengan sang terkasih di dunia. Mungkin mimpi hanya angan mereka yang masih hidup untuk dapat bertemu mereka yang telah menemui ajal lebih dulu.

"Ibumu pakai gaun putih, cantik sekali. Rambutnya digerai. Dia seperti pakai make up," Nenek tertawa, "mungkin di akhirat sana, ibumu jadi lebih sering dandan.

"Dia tanya kabar Nenek dan Justin. Kangen, katanya. Nenek ketawa saja, soalnya di sini Nenek yang lebih kangen daripada ibumu. Ibumu cerita, sahabatnya pernah bilang, mau bantu asuh Justin, sejak ayahmu meninggal, dua tahun setelah kamu lahir. Kamu ingat, 'kan? Foto yang kita lihat tempo hari setelah ke makam ibumu? Lily, namanya."

Lagi, sesuatu menghantamnya lagi. Sesuatu tak kasat mata, yang tidak bisa ia kira kedatangannya. Ketika nama itu disebut, hati Justin bak diremas tanpa ampun. Ngilu. Ia menghantamnya sampai menimbulkan sebuah lubang menganga.

That Woman in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang