~ Chapter 6

675 154 21
                                    

[Happy reading!]

Justin berjalan lesu. Menyusuri koridor ramai oleh siswa-siswi. Bising di sekitar tak mempengaruhi. Hari boleh masih pagi, semangat Justin sudah seperti siswa sekolah di mata pelajaran terakhir. Tidurnya nyenyak semalam, tapi tiada mimpi menghiasi.

Lily tidak suka melihat Justin terluka, tidak mungkin terluka adalah syarat untuk bertemu cewek itu di alam mimpi. Ataukah memimpikan Lily atau tidak tergantung keberuntungannya? Duh, tidak tau. Semakin memikirkannya, Justin semakin rindu. Kehidupan nyata seolah tidak ada apanya ketika Justin sibuk memikirkan Lily. Aneh dan tidak normal. Lily, sesuatu yang belum tentu benar keberadaannya. Sesuatu yang muncul di alam bawah sadarnya. Justin merasa gila.

Justin benar-benar abai dengan sekitar. Baru sekarang ia sadar tengah diseret ke suatu tempat. Netranya melihat tiga wajah tidak asing yang gemar tinggalkan bekas luka di wajahnya. Sepertinya Justin akan dihajar lagi. Lagi-lagi tiga lawan satu. Melawan pun tidak ada guna, 'kan? Itu pikiran Justin dulu. Meski wajah khawatir Lily sangat menyenangkan untuk dilihat, Justin tidak akan terluka lagi. Dulu, ia berjanji pada nenek. Sekarang, Justin berjanji pada dirinya sendiri. Sebut saja perlawanannya ini sebagai bentuk perlindungan diri.

Dua orang lainnya memegangi tangan Justin, kanan dan kiri. Sedangkan si ketua mengambil ancang-ancang untuk melayangkan tonjokan. Sebelum sempat itu terjadi, Justin menghempaskan pegangan dua orang di kanan-kirinya dengan kasar. Mereka lengah. Justin berhasil lepas. Semakin marahlah ketiga orang itu.

Dan kali ini, Justin harus berterima kasih pada Sasha.

"Heh! Justin mau diapain?!" pekik Sasha dengan suara melengking. Cewek itu memakai almamater OSIS. Berjalan dengan tergesa menghampiri keempat lelaki yang hendak adu jotos.

Ketiga perisak langsung melembutkan wajah. Justin ingin muntah lihat senyum manis dipaksakan itu.

"Lagi main bareng, nih," ujar cowok paling tinggi, lalu merangkul Justin. Yang dirangkul menggeliat tidak nyaman. "Ya, 'kan, Bro?"

Sasha melirik sinis. Jelas-jelas wajah Justin menunjukkan perasaan tidak nyaman. Dan Sasha tidak sebodoh itu untuk mempercayai perkataan David. Dia mendekat, lalu tanpa ragu menarik tangan Justin. Justin berpindah, sekarang berdiri di sisi Sasha. Ia lirik cewek yang lebih pendek, wajahnya masih mengeras, dahinya tidak berkerut, tapi siapapun yang melihat pasti tahu kalau Sasha sedang marah. Hanya dengan wajah lempeng dan mata sinis, di mata Justin, Sasha terlihat elegan.

"Gangguin temen gue lagi, gue laporin kepsek," ancam Sasha. Sekedar informasi, Sasha anak kepala sekolah.

Wajah sok manis ketiga lelaki itu langsung berubah. Si ketua alias David langsung memasang wajah masam. Dia terkekeh meremehkan.

"Lo gak tau gue anak siapa?" tantang David.

Gantian Sasha yang terkekeh sinis. "Lo kenal bapak gue, gak? Coba tanya bapak lo, siapa nama atasannya," sahut cewek itu, wajah David langsung berubah tak senang.

Oh, ini pertengkaran anak orang kaya, Justin gak ikutan.

Sasha menarik sudut bibir, tersenyum penuh kemenangan. Tangan Justin digandeng. Cewek itu tersenyum miring sebelum menyeret Justin pergi dari sana. Sementara yang diseret masih bungkam seribu bahasa. Selama ini Justin kira David itu menaruh hati pada Sasha. Ah, tidak tahu, gak ambil pusing.

Sampai depan kelas, baru Sasha melepaskan gandengannya. Lho, daritadi Justin digandeng, ya? Duh, Tin, masih pagi sudah melamun saja kerjaannya.

Sasha tersenyum padanya sebelum masuk kelas lebih dulu. Cewek itu menghilang di balik pintu kelas yang kembali tertutup. Justin melamun, menatap kosong pintu di hadapannya. Sudut bibir tertarik. Ia tersenyum bodoh.

That Woman in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang