Bonus Tahun Baru

530 94 14
                                    

Pagi ini begitu cerah dan menyegarkan. Kendati engkau berada di antara kumpulan orang-orang sibuk di bawah atap halte bus. Tidak ada yang bisa menghilangkan nyamannya pagi, bahkan tumpukan manusia di dalam bus sekalipun. Justin berusaha meraih pegangan bus yang menggantung di langit-langit dengan kepayahan. Berbagai aroma parfum menyatu di sana, bahkan ada aroma minyak angin yang biasa dipakai neneknya. Pusing sudah dibuatnya. Mungkin ini hari kesialan Justin. Hari pertama pergi sekolah dengan bus yang kebetulan ramai penumpang.

Hari ini hari spesial untuk para pejuang kelas akhir yang telah lulus. Mereka melanjut ke jenjang yang lebih tinggi, memasuki gedung sekolah yang baru. Namun tidak ada yang spesial bagi Justin. Ia hanya naik kelas, masih dalam gedung yang sama, namun berpindah kelas dan berganti teman sekelas. Kelas berapa ia kemarin? Antara kelas satu, atau kelas dua. Yang jelas sekarang Justin naik kelas.

Seisi bus agak lenggang. Justin bisa berdiri tanpa berdesakan dengan penumpang lain. Ia membuka ponsel, membaca ulang rute pergi ke sekolah dengan naik bus umum. Satu halte lagi maka Justin harus turun. Ketika sedang sibuk membaca rute bus umum yang tengah ditumpangi, muncul notifikasi pesan dari Baim. Justin langsung membukanya akibat tidak sengaja.

Baim: Selamat pagi, selamat menempuh hidup baru.

Kemudian dia mengirim gambar ucapan selamat pagi disertai bunga-bunga dan kutipan-kutipan penyemangat. Justin tidak menemukan kata yang tepat untuk menjawabnya. Bus terlanjur berhenti lebih dulu di halte tujuan. Ponselnya ia simpan kembali ke dalam saku celana dan membiarkan pesan Baim tak terbalas.

Laki-laki ini jarang—bahkan tidak sama sekali—berolahraga saat libur sekolah. Yang ia lakukan pada sisa-sisa hari liburnya adalah nonton film dan main game (kalau melupakan hari tergalau sedunianya akibat gadis inisial L, karena sungguh tiga per empat sisa liburannya dihabiskan untuk itu). Maka berjalan sepuluh langkah sudah dapat membuatnya terengah. Justin menepi sejenak, takut mengganggu pejalan kaki lain apabila ia berhenti di tengah trotoar. Kebetulan di sisi kiri ada sebuah taman kecil tanpa pagar yang berisi beberapa kursi duduk. Justin duduk di salah satunya.

Dengan napas terengah, Justin meraih botol minum di sisi kiri tas. Ia teguk dengan perlahan. Justin melirik jam pada pergelangan tangan. Setelahnya ia menoleh ke sekitar. Banyak lansia yang berlalu lalang di hadapannya dengan lari-lari kecil. Walaupun peluh membanjiri dahi, mereka tetap berlari dengan wajah merekah. Dari situ Justin mendapat motivasi untuk melanjutkan perjalannya. Justin berdiri, lantas menepuk-nepuk bokong celananya. Tas kembali disampirkan ke atas pundak.

Di semester baru ini, Justin mencoba menjadi sosok yang baru. Menjadi Justin yang lebih baru lagi, yang lebih menghargai diri sendiri dari sebelumnya. Menjadi Justin yang lebih berbaur dengan sekitar. Libur antar semester memang singkat, tapi begitu banyak memberi nilai pada hidup Justin. Entah karena pesan Lily yang disampaikan oleh Nenek, atau karena Justin yang mulai mencoba ikhlas dengan segala perpisahan dalam kehidupannya. Perpisahan dengan sang ibu, juga Lily yang abu-abu.

Ketika kaki kanannya hendak mengambil langkah, sesuatu—seseorang menubruknya dengan keras. Justin oleng dan terjatuh ke atas trotoar yang mendadak sepi pejalan kaki. Sesuatu, atau seseorang itu ikut terjatuh di hadapannya. Bedanya Justin terduduk, sedangkan ia tersungkur dengan lutut yang mengenai lantai trotoar. Mungkin saja lutut gadis berambut hitam legam itu terluka. Justin berusaha buru-buru bangkit, demi menolong si gaids dengan rambut sebahu itu.

Kemudian terdengar suara decakan marah, yang mana membuat Justin terdiam sejenak. Gadis itu mengangkat wajah. Jengkel begitu kental dalam kerutan wajahnya. Saat itu juga Justin terpaku akan wajahnya. Dia mengenakan seragam yang sama dengan Justin, namun tampak lebih baru. Mungkin dia siswi baru kelas sepuluh. Tapi wajahnya begitu tidak asing di mata. Dia begitu mirip dengan si gadis dari alam mimpi. Dengan mata bulat dan pipi chubby. Namun rambut tampak lebih panjang sedikit. Atau mungkin dia memang Lily, karena sebegitu miriplah dia. Entah betulan mirip, atau karena Justin baru saja memikirkan gadis alam mimpi itu.

"Lo kalau jalan liat-liat, dong!" dia mengomel dengan suara tinggi. "Aduh," kemudian meringis sambil memegangi lutut yang terluka. Dengan luka sebesar itu, pasti sakit untuk menggerakkan kaki.

Mulut Justin terbuka hendak menyahut, tapi cewek itu terlanjur kembali berucap, "Kok, malah bengong, sih? Sakit, nih, lutut gue!"

Justin kembali termenung. Suara itu, masuk ke dalam rongga telinga dan bermuara di relung hati. Dia mengetuk-ngetuk kotak hati yang hanya Justin sendiri ketahui kata sandinya. Di dalam kotak hati, masih tersimpan rasa untuk Lily yang berusaha ia buang pergi. Namun suara itu membuatnya ingat kembali. Rindu kembali. Semakin lama ia memandang gadis di depannya ini, semakin berdebar jantungnya. Berdebar karena semangat. Berdebar seperti engkau masuk sekolah saat pertama kali. Berdebar karena cinta. Ia dilingkupi rasa haru yang meledak-ledak, hingga tak sadar air matanya menetes perlahan.

Si gadis kemudian menelan kembali ocehan yang belum sempat dimuntahkan. Wajah marahnya berubah khawatir ketika melihat tangisan bisu dari Justin. Apakah banyak debu yang masuk ke dalam matanya?

"Eh, lo kenapa? Sakit, ya? Sorry, sorry."

Dia merangsek maju. Kedua tangan ditepuk-tepuk guna menghilangkan debu dari tangan, sebelum akhirnya menyeka air mata Justin—cowok asing yang menurut kesan pertamanya; aneh.

"Cup, cup. Jangan nangis, dong. Aduh."

Cewek itu panik, tentu saja. Apalagi orang berlalu-lalang melihat ke arah mereka. Justin memang tidak merengek dengan suara keras. Dia menangis dengan wajah datar dan tatapan kosong. Air matanya mengalir tanpa henti, hingga membuat cewek rambut sebahu itu kebingungan sendiri.

Dia mencoba membantu Justin berdiri. Saat gadis itu mengulurkan tangan di depan wajahnya, barulah Justin tersadar dan kembali pada realitas. Bergegas jejak-jejak air mata ia hapus, dan berdiri tanpa menyambut uluran tangan perempuan mirip Lily itu.

"Bagian mana yang sakit?" dia masih bertanya. Mungkin takut kalau Justin mengalami penyakit serius. Lumpuh, misalnya!

"Ah, enggak, kok," sahut Justin gelagapan. Tadi cewek itu mengomel bak ibu kontrakan yang belum menerima uang sewa selama satu tahun. Kemudian sekarang seperti seorang guru TK ketika mendapati salah satu muridnya terluka. "Kayaknya, lo lebih sakit—"

"Alisa!"

Keduanya serentak menoleh. Berlawanan dari arah yang hendak dituju, muncul seseorang, melambaikan tangan, kemudian berlari dengan tergesa.

"Ayo! Kita udah telat!" katanya dengan napas terengah.

Seketika Alisa ingat, ia masih dalam perjalanan menuju sekolah. Tidak lucu kalau pertama kali masuk SMA harus dihukum bersama orang-orang terlambat.

"Gue duluan, ya! Maaf sekali lagi. Jangan nangis lagi, ya?" dia berujar pada Justin.

Justin menerima tepukan dua kali pada bahu, sebelum akhirnya dua gadis itu berlari meninggalkannya. Lily—Alisa, sepertinya melupakan kakinya yang terluka. Ia bisa berlari kencang, dan mungkin baru akan merasa sakit lagi ketika berhenti berlari.

Justin di sini masih terpaku, total lupa dengan kewajibannya masuk sekolah tepat waktu. Tangannya meremas seragam tepat di tengah-tengah dada. Jantungnya masih berdebar, tapi senyum terbit di wajahnya. Alisa itu, siapa dia? Bolehkah Justin berharap, dan percaya dengan reinkarnasi yang tidak pernah dipercayainya.

 Alisa itu, siapa dia? Bolehkah Justin berharap, dan percaya dengan reinkarnasi yang tidak pernah dipercayainya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Si Cantik Alisa

wah, seperti bakal ada sequelnya woakwoakwoakwao. gak ada guys 110% kelar. yey! happy new year!

That Woman in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang