~ Chapter 10

602 132 3
                                    

[Happy reading!!]


Halo, kembali lagi dengan Justin si pengasuh anak dadakan. Tidak ditinggal seorang diri sebenarnya, tapi Justin dititipi bocah-bocah kecil ini karena ibu mereka sibuk berkutat di dapur. Justin manut saja, hitung-hitung habiskan waktu luang dan melatih kesabaran.

Di keluarga ini, keheningan adalah hal tidak normal kalau sedang berkumpul. Apalagi jika ada Romi dan Sarah. Tidak heran kalau baru beberapa menit Justin mendaratkan bokong di ruang tengah, sudah tercium bau-bau pertikaian.

Berawal dari Sarah yang mau main boneka di atas karpet. Romi melewati batas tempat bermainnya, katanya. Sarah minta Romi pindah ke atas sofa, tapi cowok itu menolak dan bersikeras tetap ingin duduk di atas karpet. Jadilah mereka bertengkar dengan Sarah yang menangis sekarang.

Justin? Panik, ya? Kasihan.

Susah payah cowok itu berusaha menenangkan gadis cilik yang menangis dengan suara melengking. Ibunya sempat menghampiri sebentar, lalu tersenyum singkat dan menyerahkan semuanya pada Justin. Wanita itu kembali membantu nenek di dapur. Aduh.

"Sar, jangan nangis, ya? Nanti cantiknya hilang, lho," kata Justin seraya usap pelan punggung bocah itu. Tolong, Justin agak geli bilang kalimat terakhir.

Sarah enggan berhenti menangis. Justin bukan ahli menenangkan anak kecil menangis. Sumpah, tidak tahu ingin berbuat apa. Yang daritadi dilakukan hanya mengelus punggung dan mengusap kepala menenangkan.

"Mas Justin main sama Sarah biar Sarah gak sedih," celetuk Effelin yang tiba-tiba datang dari arah sapur disertai kikikan jahil.

Justin menghela napas. Perhatiannya tertarik begitu Sarah berubah ekspresi. Gadis kecil itu tersenyum sumringah dengan mata sembabnya. Sarah mengusap jejak air mata di pipi sebelum menoleh sepenuhnya pada Justin.

"Mas Justin, ayo ikut main!" seru Sarah.

Justin tepuk dahi. Sementara Effelin yang sekarang duduk di belakang Asa tertawa kecil dengan sebelah tangan menutup mulut. Sialan. Justin lirik Sarah di sisi kanannya. Mata berbinar penuh harap dengan senyum lebar di wajah. Kontras sekali dengan keadaannya beberapa saat lalu. Seandai Justin menolak, pasti gadis itu akan kembali menangis dengan keras. Justin menghembuskan napas berat. Dengan ogah-ogahan mengangguki permintaan Sarah.

Pekikan senang terdengar. Sarah terlihat girang. Selanjutnya yang dilakukan adalah pamer pada Romi. Cara bicaranya yang terdengar jelas tengah pamer dan meledek itu telak buat bocah SD itu kesal. Pertengkaran di antara keduanya tak dapat dihindari. Tapi, tenang, ada Effelin yang siap mengomel di sini.

*

Hari terakhir di rumah nenek. Sarah pulang duluan siang ini. Dia merengek pada sang ibu, minta untuk tinggal lebih lama. Butuh waktu setengah jam untuk membujuk bocah kecil itu pulang. Dengan mata sembab dan sedikit cegukan, Sarah melambaikan tangan dari dalam mobil sang ayah. Anggota keluarga yang lain tertawa melihatnya, termasuk Justin sekalipun.

Sorenya, giliran Agam dan Haris yang pulang. Romi yang menetap sampai dua hari ke depan terlihat kesepian. Sesekali Asa mengganggunya bermain game. Justin harus berkali-kali menggotong gadis cilik itu untuk menjauhi Romi yang bad mood.

Selepas maghrib, barulah Justin diantar oleh Mas Agung menuju rumah.

*

Selesai membenahi pakaian dan membersihkan tubuh, Justin melemparkan diri ke atas kasur empuknya. Tubuh terasa lebih ringan dan rasa lelah seolah menguap ke angkasa. Dengan ponsel pintar di tangan, Justin sibuk berbalas pesan dengan Baim. Kalau kalian menebak mereka membicarakan peramal yang tempo hari Baim bicarakan, maka kalian benar. Justin sampai muak dengan pembicaraan itu. Manusia seperti Justin tidak pernah mempercayai hal-hal seperti itu.

That Woman in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang