~ Chapter 19

348 65 3
                                    

Pagar rumah menjeblak terbuka sejak satu jam lalu. Para pelaku sengaja menempati titik yang jauh dari jangkauan jendela kamar. Sudah dua agen yang masuk dan menjalankan misinya. Sisa satu dari mereka bertiga yang belum bergerak mendekati target.

"Gak bakal mau sama gue! Beneran, deh!" ujarnya berbisik, namun juga berteriak di waktu bersamaan.

Sasha dan Baim tampak tak acuh, terus saja mendorong bahu Wulan untuk bergerak maju. Gadis itu keras kepala, berusaha menahan diri dengan berpegangan pada tembok.

"Justin pasti nurut sama lo! Coba dulu," kata Baim setengah berbisik.

Mereka harus berkomunikasi dengan suara kecil, khawatir si pemilik rumah mendengar. Bukannya menyelesaikan misi, yang ada malah diusir dengan kejamnya. Misi mereka di sini adalah menarik Justin dari jurang keputusasaan. Sejak terakhir kali mereka liburan bersama, cowok itu susah untuk ditemui. Pesan-pesan yang dikirimkan seolah tak pernah sampai padanya. Tidak ada respon dari ribuan pesan, maupun telepon yang tak pernah diangkat. Karena itu, pagi ini Baim menyusun rencana untuk menghampiri Justin yang tampaknya sedang terpuruk.

Baim dan Sasha sudah melakukan bagiannya, tinggal Wulan yang tersisa. Berbeda dengan Baim yang bertugas membersihkan kamar Justin, ataupun Sasha yang bertugas memastikan cowok itu makan makanan bergizi, tugas Wulan kali ini dirasa paling sulit. Membuat Justin terbuka akan masalahnya dan mulai bercerita. Gila saja! Dia tertutup bukan main. Selain itu, menatap Wulan saja melengos dia. Harusnya Baim dan Sasha tahu, dua anak manusia itu saling mengibarkan bendera perang tanpa niat berdamai.

Sebelum sempat melangkah, Wulan yakin 100% ini tidak akan berhasil. Tidak peduli sebanyak apa Sasha menyemangati, dan menyentuh apa kata-kata yang Baim lontarkan. Ia memang bukan peramal masa depan, namun manusia cukup cerdas untuk menebak kisahnya sendiri. Setidaknya Wulan masih ingat kalau ia adalah hamba Tuhan, yang mana nasibnya setelah melangkah bisa saja berbeda dari apa yang ia kira. Karenanya Wulan berdoa sebelum mengetuk pintu itu. Semoga Tuhan menggerakkan hati manusia kaku macam Justin agar mau membuat semua ini selesai dan jelas.

Tok, tok, tok. Tiga kali cukup untuk membuat Justin menghampiri pintu dengan setengah kesal. Sasha dan Baim langsung bergegas kembali ke tempat persembunyian saat engsel pintu tampak dibuka dari dalam. Wulan menelan ludah. Dalam hitungan detik, ia langsung bertatap wajah dengan Justin. Seakan sudah lama tak bertemu, padahal baru hitungan hari. Wulan sampai menyadari rambut-rambut tipis yang ada di atas bibir si Kaku. Kalau ditinggal sebulan saja, mungkin Justin akan berubah menjadi bapak-bapak berkumis tebal yang gemar minum kopi di sore hari. Dia bahkan sepertinya enggan menyentuh alat cukur!

"Hai?" Sapaan itu bahkan tidak terdengar seperti sedang menyapa. Wulan merutuki diri, sementara wajahnya terus nyengir lebar.

"Lo kiriman ketiga, ya?" tebak Justin dengan jengkel. Sepertinya cowok ini sudah dapat menebak permainan teka-teki yang dilakukan Baim dan kawan-kawan.

Wulan tidak dapat mengelak, dan tidak berniat untuk itu. Ia meminta persetujuan pemilik rumah untuk melangkah masuk ke dalam. Justin terdiam. Ingin menolak, namun merasa tidak mampu. Tanpa kata, tubuhnya bergeser merapat ke dinding, memberi ruang untuk Wulan melangkah masuk.

Tidak seperti Sasha yang langsung menjajah dapur, atau Baim yang menyelonong masuk kamarnya. Wulan bertamu seperti tamu pada umumnya. Ia duduk di ruang tamu minimalis. Justin memperhatikan diam-diam. Tidak ada tanda-tanda cewek itu akan membersihkan atap rumah ataupun kamar mandi. Ataukah tujuan Wulan adalah untuk memandikan Justin dengan sabun paling mutakhir di dunia? Tidak ada perilaku mencurigakan darinya.

"Boleh minta minum?" Wulan bertanya ragu.

Justin seketika keluar dari peran pengamatnya. Saking sibuknya mencari keganjilan dari gadis itu, sampai lupa etika menjamu tamu. Sebentar, katanya, sebelum akhirnya Justin undur diri pergi ke dapur. Dapur yang semula beraroma nasi goreng buatan Sasha. Lupa bertanya apa yang Wulan inginkan, Justin akhirnya hanya mengandalkan apa yang ada di dalam kulkas dan laci makanannya. Apa Wulan suka teh? Justin terus mengaduk cangkir dengan sekantung teh celup di dalamnya. Dirasa gula-gulanya sudah larut, barulah ia pergi membawanya ke ruang duduk.

That Woman in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang