~ Chapter 12

510 114 5
                                    

happy reading!

*

Justin memimpikan Lily. Pukul sepuluh lewat lima belas ia terlelap. Bukan sore hari. Tidak ada matahari hendak terbenam. Di langit hanya ada bulan sabit bersama bintang. Pagi harinya, Justin termenung. Ia tidak ingat apa-apa tentang mimpinya. Yang ia tahu hanyalah ada Lily di sana. Bukan lucid dream, hanya bunga tidur biasa yang dialami manusia. Saat itu juga Justin merasa; tidak ada yang spesial dari Lily.

Sepulang pergi bersama Baim dan Sasha, sempat Justin berpikir kalau Lily sesuatu yang khusus. Karena itulah dia datang di jam-jam tertentu. Pupus sudah harapannya. Justin terlalu banyak membaca cerita fantasi. Beranggapan kalau dirinya adalah pemeran utama dari sebuah kisah pemuda kesepian dan peri tidur baik hati. Justin merasa bodoh.

"Tin! Hari ini kita lanjut penelitian, ye!"

Justin menjauhkan ponsel genggam dari telinga. Masih pagi dan Baim sudah berteriak lantang di sebrang telepon.

"Penelitian apaan?" tanyanya dengan suara serak.

"Mimpi lo itu, lho!"

Menguap besar. Justin berdecak setelahnya. Mata setengah terbuka, dirotasi malas. Ia pikir yang kemarin itu terakhir, ternyata dua manusia aneh itu masih ada rencana lain. Kurang kerjaan.

"Males, ah."

"Harus ikutlah, Tin. Kalo gak ikut ya gue gotong." Baim tertawa. "Hari ini kita ke Bandung, cuy!"

Justin masih setengah sadar saat mengangkat telepon dari Baim. Awalnya ia kira nenek yang menelepon. Rentetan kalimat yang Baim katakan masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Kantuk masih menyelimuti. Plus, berbagai pertanyaan tentang Lily masih bergema di kepala. Namun, kalimat terakhir Baim berhasil membuat Justin melebarkan mata.

"Bandung? Hah?!"

"Lah? Bukannya lo udah tau, ya? Kita kan mau ke rumah kenalannya Sasha."

"Gak ada yang ngasih tau, anjir! Ngapain ke Bandung segala, sih?!"

Terdengar suara tawa Baim. "Berarti gue lupa bilang. Sorry, Bos! Ya, pokoknya kita ke Bandung. Jam satu siang berangkat. Siap-siap lo!"

"Tapi—"

Justin berdecak keras. Baim memutuskan panggilan. Cowok itu pandangi ponselnya dalam hening. Wajah berkerut kesal. Justin membanting ponsel ke atas kasur. Rambut acak-acakannya jadi pelampiasan. Sepasang tangan itu bergerak brutal di atas kepala. Surai berantakan semakin tak karuan bentuknya.

Justin hanya ingin menghabiskan libur sekolah dengan acara televisi, buku-buku, juga film aksi. Kenapa sulit sekali?

Meskipun mengeluh sepanjang pagi, Justin tetap berkemas dan sudah siap dijemput tepat pukul satu. Mobil Sasha sudah terparkir manis. Justin keluar rumah setelah Baim menghubungi ponselnya. Wajahnya menekuk bete. Itu terjadi tanpa sadar. Sudah kebiasaan sepertinya, gestur ketika sedang kesal.

Dua teman lain menyadari itu. Yang satu memilih tidak peduli. Sasha sebagai salah satu dari dua teman itu, menyenggol lengan Baim di sisinya. Kepalanya dicondongkan, Sasha sedikit berjinjit.

"Justin marah ya, Im?" tanya Sasha berbisik.

Baim menyilangkan tangan di depan dada. Wajah tetap menghadap depan, tapi dengan sengaja mendekatkan telinga ke wajah Sasha. Baim sedikit merendahkan kepala, sedangkan Sasha berusaha meninggikan. Gerak tubuh mereka sudah seperti tukang gosip andal.

That Woman in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang