~ Chapter 3

1K 178 7
                                    

[Content warning : bullying]

[Content warning : bullying]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[]

Justin pernah berjanji pada nenek. Hari itu Justin izin tidak masuk, sehari setelah kejadian besar yang dapat menimbulkan trauma dalam diri. Untung ini Justin. Alasannya tidak masuk sekolah bukan karena ketakutan, tapi punggungnya sakit luar biasa akibat dihantam kuat dengan sebuah balok kayu. Merasa tidak mampu pulih seorang diri, cowok itu menghubungi sang nenek. Tentu saja nenek terkejut luar biasa. Justin tidak bisa menghindar lagi. Semua ia ceritakan dan perjanjian itu pun dibuat.

"Janji sama Nenek, jangan macem-macem sama mereka lagi. Gak usah kelahi-kelahi, paham?? Urusan mereka biar mereka yang tangani, kamu duduk anteng aja, gak usah ikut-ikut!"

"Iya, Nek. Justin janji."

Hari itu nenek marah besar. Kesal bercampur iba. Kesal karena cucu kesayangannya terluka parah. Hari itu, bukan hanya omelan panjang yang diberikan. Justin belajar hal baru dari sana. Nenek bertanya kala itu,

"Kamu menyesal sudah bantu anak itu?"

Diberi pertanyaan seperti itu, Justin langsung terdiam dan merenung. Jujur saja, meski dirinya harus menjadi korban, tidak ada penyesalan dalam hidupnya selama ini. Justin malah bersyukur karena maju kala itu. Andai saja ia terus bungkam sampai sekarang, mungkin sampai sudah beranak cucu ia akan terus mengingat masa-masa itu, saat di mana seorang tak bersalah diperlakukan dengan tidak selayaknya tepat di depan mata.

Dan kali ini, Justin juga tidak akan menghindar sehingga menimbulkan rasa sesal dalam dada.

"Heh, bangsat!"

Perbuatan ketiga anak manusia itu langsung terhenti. Bahkan cowok berjaket hitam yang baru saja dipukuli juga menatapnya. Tatapan lemah penuh ketakutan. Ekspresi wajahnya teriak minta tolong. Ekspresi favorit para tukang bully. Ketiga perisak muda menatapnya penuh minat. Objek yang baru saja dipukuli bahkan sekarang terasa sudah tidak menarik lagi. Perhatian mereka tertuju pada Justin.

Satu dari mereka, cowok tinggi berkulit putih, maju menghampiri Justin lebih dulu. Wajahnya sangar dengan tatapan merendahkan. Sepertinya dia pemimpinnya. Pemimpin yang akan berlagak kuat begitu ada anggota-anggotanya di belakangnya, dan berubah menjadi anak kucing lemah saat sendirian.

"Lo lagi, lo lagi. Apa tadi? Bangsat? Lo ngatain gue?" Cowok itu berdecih di depan Justin.

Menurut Justin, ketika berhadapan dengan seorang perisak, janganlah kelihatan lemah. Jangan terintimidasi olehnya. Berusahalah untuk tetap percaya diri dan hilangkan rasa takut. Jurus andalan Justin adalah ... wajah datar. Sepertinya itu bakat alami sejak kecil.

"Kalo diajak ngomong tuh—"

Justin menamparnya, dan mulut itu langsung terkatup. Dua orang perisak lainnya membelalakkan mata terkejut.

That Woman in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang