~ Chapter 7

648 150 6
                                    

Justin terkaku ditatap seperti itu. Ia terperangkap, terkunci oleh mata bulat Lily. Semakin lama diamati semakin indah pula sepasang mata itu. Justin kembali jatuh. Kini lebih dalam dan susah untuk keluar. Jatuh dalam pesona Lily. Sesuatu yang ambigu keberadaannya.

"Kedip!" celetuk Lily di tengah sunyi. Saat itu juga Justin tersadar.

Wajah Lily tepat ada beberapa senti di tasnya. Dengan senyum manis terpatri, membuat siapa saja sulit mengalihkan pandangan darinya. Wajah Justin memerah. Ia merona entah kenapa. Merasa posisi mereka sangat canggung. Bergegas pemuda itu bangun. Sialnya kepalanya dan kepala Lily beradu. Keduanya sama-sama meringis sakit. Tapi Lily lebih dulu menyudahi dan lebih memilih mengecek kondisi Justin.

"Kamu gak apa?" tanyanya dengan dahi berkerut.

Gadis itu mencondongkan tubuh ke arah Justin. Kedua tangannya menepikan helai rambut yang menutupi wajah Justin. Tangan Justin yang semula mengusap pada dahi tergantikan dengan tangan Lily. Rasa sakit bertukar dengan rasa gugup. Wajah Lily sangat dekat. Siapa yang tidak memerah berada di jarak sedekat ini dengan gadis semanis Lily? Kalau ini dunia nyata, mungkin Justin sudah pingsan.

Sejuk menyapa permukaan dahi. Lily meniupi dahinya sebelum mengusapnya kembali dengan tangan. Justin memperhatikan wajah Lily dalam hening. Begitu kedua netra si gadis beralih menatap tepat di mata, Justin membuang pandangan.

"Masih sakit?" Wajah Lily terlihat begitu khawatir seolah Justin baru saja kena luka tembak.

"Sakit, tapi udah ilang, tenang," sahut Justin, berusaha keras agar suaranya tidak bergetar karena gugup.

Lily menangkup wajah Justin. Pipinya ditekan hingga bibir si cowok mengerucut lucu. Kerutan dahi berganti dengan tawa ringan.

"Kamu mirip teman saya," ujar Lily tiba-tiba.

Justin mematung. Tak sanggup bergerak. Ia bahkan menahan napas sampai Lily kembali menjaga jarak di antara mereka. Justin curi-curi pandang. Kebetulan Lily juga tengah menatap ke arahnya. Total ketahuan dan ia malu, jujur.

"Karena sudah ada kamu, ayo bantu saya rapikan taman kecil di belakang rumah!" seru Lily.

Justin mengernyit. "Hah?"

Tanpa menjelaskan lebih dulu, Lily langsung berdiri dan menarik tangan Justin. Yang bisa dilakukan hanya membuntuti ke mana pun gadis ini pergi. Langkah si gadis semakin lama semakin cepat. Daripada berjalan, ini lebih cocok disebut berlari. Melewati lorong-lorong berlantai kayu. Sampai akhirnya mereka berakhir di sebuah halaman luas dengan bermacam tumbuhan di sana.

Lily mengenakan sebuah topi bundar. Sadar tengah diperhatikan, dia menoleh dan melempar senyum. Bodohnya, Justin malah diam dan merona. Oke, Justin merasa lemah kalau berurusan dengan Lily.

"Beneran mau bercocok tanam?" tanya Justin sebelum ikut berjongkok di sisi Lily.

Lily mengangguk dengan atensi masih pada pohon tomat kecil di depannya. Gadis itu tiba-tiba menoleh.

"Kamu suka, 'kan?"

Dibenci sih tidak, dibilang suka juga tidak. Dulu, ibunya juga suka bercocok tanam. Dari sana Justin mempelajari cara menanam tanaman dengan baik dan benar. Karena sudah jadi hobi sang ibunda, mau tidak mau Justin jadi terbawa. Lagipula bercocok tanam menyenangkan. Cukup membuat Justin kembali mengenang kenangan manis masa lampau bersama sang ibu. Apalagi ditemani gadis berparas elok yang gemar lempar senyum ramah.

That Woman in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang