~ Chapter 4

907 191 19
                                    

[Happy reading!]


Justin mendengar sebuah suara lembut memanggilnya.

"Justin ..."

Saking lembutnya, Justin tidak yakin kalau suara itu berasal dari dunianya yang fana.

"Justin ..."

Justin menggeliat gelisah. Ia ingin pergi ke asal suara itu, namun tubuh tidak merestui.

"Justin!"

Dan suara itu menjadi semakin jelas dibarengi oleh tepukan kencang di kedua pipinya. Sakit, sialan. Justin langsung mendudukkan diri. Ia menggaruk perut dengan mata terpejam. Aroma masakan masuk ke rongga hidungnya. Tidak tahu bagaimana rasanya, tapi yang jelas aromanya enak sekali. Aroma ini mengingatkan Justin akan masakan mendiang ibunya. Lho, apa nenek datang? Siapa yang menepuk pipinya tadi?

Justin membuka kelopak matanya yang lengket. Hasilnya zonk. Bukan atap berwarna putih dan dinding bercat biru muda yang ia lihat, Justin tidak yakin elemen apa saja yang membangun dinding di sekitarnya ini. Ia berada di tempat asing yang terasa akrab. Justin tidak mengenali tempat ini, tapi tubuhnya nyaman berada di sana. Bingung, ya? Saya juga. Yang jelas, ini bukan rumah milik nenek yang Justin tempati.

Pintu geser di sisi kanannya terbuka. Justin tentu saja terkejut. Ia sampai melompat kecil dari tempatnya duduk. Akibat gelap pada lorong di depan, tubuh serta wajah si pelaku tidak terlihat jelas. Terlebih lagi dia menundukkan kepala. Justin was-was. Sosok tersebut mendekat. Wujudnya semakin jelas terlihat. Sia-sia rasa was-was Justin. Itu hanyalah seorang gadis muda dengan potongan rambut pendek yang membawakan satu nampan berisi makanan serta segelas air.

Kepala itu terangkat. Justin merasa tenang begitu melihat wajah si perempuan berambut pendek. Rasa aman menyelimuti diri. Justin yakin ia akan baik-baik saja begitu melihat wajah teduh itu.

Namun ekspresi tenang dan anggun langsung berubah suram. Nampan bergegas diletakkan di atas lantai. Gadis muda itu berjalan cepat menghampiri Justin. Dahinya berkerut khawatir. Justin benci melihatnya. Justin benci melihat seseorang menunjukkan ekspresi seperti itu karena dirinya.

"Lily, gue gak apa-apa. Lo kenapa, sih?"

Lily tidak menghiraukannya. Dia memandangi Justin teliti. Tangannya ragu-ragu hendak menyentuh. Begitu berhasil menyentuh wajah si lelaki, Lily mengusapnya perlahan. Benar-benar berhati-hati seolah-olah wajah itu dapat hancur lebur hanya karena terkena kuku tajam. Lily meraba tulang pipi kanannya. Terdapat luka membiru di sana. Justin tidak merasa sakit. Tubuhnya dalam keadaan prima, seolah dapat melakukan atraksi berbahaya saat ini juga.

"Tunggu sebentar." Kalimat terakhir sebelum Lily undur diri dari sana.

Justin melemaskan bahu. Bertatapan dengan Lily dengan jarak dekat agaknya tidak baik. Dapat menyebabkan detak jantung berpacu lebih cepat serta berkeringat. Apa ini? Apakah kondisi tubuh Justin seburuk itu hanya karena dihajar tadi siang?

Abai tentang kejadian beberapa saat lalu, perhatiannya kembali tercuri oleh keadaan sekitar. Pertanyaannya cuma satu, Justin ada di mana. Tak dapat dipungkiri, ia nyaman berada di sini. Hawa sekitar terasa sejuk, padahal tidak ada pendingin ruangan di sini. Wangi-wangian yang entah berasal dari mana sungguh menenangkan pikiran. Selain itu, aroma masakan yang baru saja dibawakan Lily sangat menggelitik perut untuk berbunyi. Ugh, Justin lapar. Semoga saja makanan itu memang dibawakan untuk dirinya.

Lily kembali dengan tergesa. Pintu geser dibuka dengan brutal. Cewek itu buru-buru duduk melipat kaki di depan Justin. Saking cepatnya proses masuknya Lily ke dalam ruangan, Justin sampai tidak sadar kalau cewek itu membawa sebaskom air hangat dan juga sebuah handuk putih. Seingat Justin, ia memang terluka tadi, tapi sekarang sudah tidak apa-apa. Harusnya Lily tidak perlu susah-susah.

That Woman in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang