~ Chapter 18

424 78 8
                                    

Dia menyedihkan. Bangun pagi sekedar mematikan alarm, kemudian terlelap lagi. Makan siang tidak jauh-jauh dari mie instan. Sarapan dan makan malam dilewati begitu saja. Menyalakan televisi tanpa berniat menonton. Boros listrik. Sebagai gantinya, Justin tidak menyalakan lampu sama sekali. Hanya lampu kamar ketika matahari mulai bersembunyi, memberi panggung untuk bulan bersinar. Lingkar matanya menebal. Semua akibat tidur kelewat larut hampir setiap hari. Sisa-sisa liburannya dihabiskan untuk jadi versi paling menyedihkan dari seorang Justin.

Dia terpuruk. Semua karena angannya yang mendadak hilang. Karena bayang-bayang dalam alam bawah sadarnya bukanlah realita. Karena dunia mimpi yang berwarna, tidak bisa ia bawa ke alam dunia yang abu-abu. Karena Lily meninggalkannya. Atau mungkin gadis itu memang tidak pernah berdiri di sisinya. Karena Lily menghilang tanpa aba-aba. Karena kenyataan terkait dengan Lily yang telah tiada. Justin terpuruk, bukan sebab Lily yang menorehkan luka berbekas. Ia terpuruk, karena sempat menaruh harap pada sesuatu yang fana.

Makannya tidak selera. Tidurnya tidak lah nyenyak. Memejamkan mata untuk terlelap adalah yang tersulit selama ia hidup. Telepon dan pesan dari Baim tidak pernah Justin pedulikan. Ketika panggilan demi panggilan terus mengusik ponselnya, ia akan mengklik tombol daya. Ponselnya mati sejenak, seiras dengan jiwa pemilik yang tengah meringkuk di atas kasur. Dia akan tetap pada posisinya sampai kantuk menjemput dengan sendiri.

Justin mendengar ketukan pintu. Betulan mengganggu konsentrasinya untuk terlelap. Ia tidak berniat membukanya, ataupun mengintip barang sedikit. Kondisinya yang berantakan sangat tidak bisa menerima tamu untuk saat ini. Sayang sekali, Tuan/Nyonya harus mundur empat langkah dan kembali lain waktu. Justin menaikkan selimut sampai ke ujung kepala. Tubuhnya betulan terlapis selimut tebal. Suara ketukan pintu teredam karena bantal yang sengaja diletakkan di atas telinga. Lama-kelamaan ketukannya menghilang.

Keheningan sejenak sebelum badai. Satu-dua menit Justin kembali mendapat konsentrasinya untuk terlelap. Semua langsung buyar ketika jendela di sampingnya diketuk. Tamu mana yang memaksa masuk sampai mengetuk jendela kamar?! Kalau begitu, ini pasti bukan tamu biasa yang bisa dibodohi. Tamu satu ini pasti sudah tahu lebih dulu kalau Justin ada di rumah, tengah meringkuk di atas kasur.

Justin menghempas selimut dengan kasar. Gorden ditarik asal. Yang penting terbuka, dan Justin bisa mengintip siapa yang tengah mengganggu ketenangannya sekarang. Lalu wajah Baim yang betulan menempel di kaca, membuatnya terkejut sampai lompat dari tempat. Cowok itu tersenyum kemudian. Tangannya melambai-lambai. Justin memutar mata. Ia menutup gorden kembali tanpa ampun. Kemudian suara ketukan pintu kembali terdengar. Duh, cowok ini tidak akan diam sampai ia mendapatkan apa yang diinginkan.

Setelah lima belas menit saling berperang dengan ego, Justin mengibarkan bendera putih lebih dulu dengan mulai membukakan pintu. Tangan Baim melayang di udara, gestur hendak mengetuk lagi. Wajah lesunya langsung berubah sumringah. Dia melompat masuk, tanpa permisi merangkul tubuh Justin.

"Long time no see, Bro! Gila aja, gue nelpon ribuan kali gak diangkat," ujarnya hiperbola.

"Ada urusan apa?" tanya Justin tak acuh. Berkali-kali berusaha melepaskan rangkulan Baim.

Baim berusaha mempertahankan senyumnya. "Banyak. Gue boleh masuk?" Dia menatap Justin lama. Mereka seolah tengah bicara lewat mata.

Justin mengalihkan pandangan lebih dulu. Adegan itu tidak seharusnya tertulis di sini.

"Lo udah masuk rumah gue, by the way. Gak buka sepatu lagi," jawabnya jengah.

Baim melirik lantai di bawah kakinya. Sudah melewati kusen pintu. Sepatu pun masih melekat di sepasang kaki. Cowok berpenampilan urakan itu masih mempedulikan kebersihan rumah? Luar biasa.

That Woman in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang