~ Chapter 17

519 117 26
                                    

Selamat membaca~

***

Wanita itu pergi. Justin tidak menyadari karena pandangannya kabur akibat air mata. Sibuk menunduk, ketika mengangkat kepala, tidak ada lagi gadis dengan rambut pendek berponi itu. Dia lenyap secepat angin berhembus yang membawa daun-daun kering. Justin tidak sempat untuk heran dan mencari-cari karena Nenek dan Mas Agung sudah kembali.

Ziarah makam pun selesai. Kulit Justin kembali merasakan sejuknya AC mobil. Di luar itu panas sekali. Jarum jam sudah tergelincir lewat dari angka dua belas. Tidak heran mengapa matahari menyengat sekali rasanya. Perut Justin berbunyi pelan. Sepertinya tidak ada yang menyadari. Ziarah kali ini ditutup dengan berkunjung ke rumah orang tua sahabat Ibu atas ajakan Nenek.

Ibu dan sahabat karibnya ini lebih dekat dari kata dekat. Menempel, lengket satu sama lain. Sahabatnya berdarah campuran, Jepang dan Indonesia. Orang tuanya pemilik lahan pemakaman ini. Mungkin itu alasan dapat dengan kebetulannya makam Ibu dan sahabatnya bersisian.

Setiap bercerita, Nenek tidak pernah menyebutkan namanya.Terlupa, katanya. Dari cerita Nenek yang Justin dengar, sahabat Ibu sangat bertolak belakang dengan Ibu sendiri. Dari sifat, penampilan, selera. Sampai tidak mungkin rasanya bagi mereka untuk berteman. Nenek selalu senang tiap Ibu membawa temannya ke rumah. Mereka bertiga akan banyak menghabiskan waktu di kebun belakang.

Nenek paling senang ketika bercerita tentang masa-masa dulu anak-anaknya. Walau ingatan tak sekuat dahulu kala, Nenek masih bisa ingat jelas kenangan-kenangan dari tiap-tiap anaknya. Justin tidak pernah keberatan untuk mendengar. Ia mengetahui hampir semua rahasia-rahasia om dan tantenya di masa lalu.

Sedikit-banyak cerita Nenek mengusir rindu di benaknya. Justin langsung terbayang seperti apa Ibu di masa lalu. Mengikuti ekstrakulikuler tari dan sering salah gerakan. Sering meronta saat hendak dipoles gincu oleh temannya--demi tak terlihat begitu pucat. Tersipu malu saat diberi kejutan ulang tahun. Masa muda ibunya terdengar lebih berwarna daripada Justin sendiri.

Dapat terbayang wajah bahagia wanita itu. Bersama teman sejati yang selalu di sisinya. Tertawa, menangis, mungkin terkadang bertengkar. Terlintas sebuah senyuman indah di ruang imajinasinya. Dia yang selalu Justin rindu. Wanita pertama yang berhasil meraih sudut bibirnya untuk tersenyum. Menghiburnya dikala terpuruk. Manusia serba kurang yang terbentuk sempurna di mata Justin. Menjadi single parent tidaklah mudah, tapi ibunya telah melakukan hal yang luar biasa.

Perjalanan mereka memang singkat, tapi Justin tidak tahu kalau akan sesingkat ini. Kepala yang dipenuhi banyak hal membuatnya tak memperhatikan jalan sekitar. Kendaraan besi itu sudah tidak bergerak. Terparkir manis di depan sebuah rumah bercat putih. Pohon-pohon menghiasi halaman depan tanpa pagar. Terlihat asri meski diterpa mentari siang yang menyengat.

Justin berjalan membuntuti Nenek dari belakang. Di depan sana, seorang wanita dalam usia senja bangkit perlahan dari kursi kayu. Senyum merekah, menyambut Nenek dalam pelukan hangat. Cium pipi kanan, cium pipi kiri. Basa-basi dengan seru. Saling menanyai kabar. Semua dilakukan di halaman depan. Saking asiknya berbicara dengan teman lama, sampai lupa untuk menjamu tamu.

Begitu sadar, wanita itu tertawa kecil, kemudian mempersilahkan Nenek, Justin, dan Mas Agung untuk masuk ke dalam.

Justin duduk dengan canggung di samping Nenek. Matanya menyapu tiap sudut ruang tanpa niat menelisik. Hanya lirikan ringan tanpa tujuan demi menghalau rasa bosan. Sampai ketika pandangannya menyentuh sebuah bingkai foto di atas laci putih. Dari jarak ini, Justin tidak dapat melihat pasti siapa-siapa yang terperangkap dalam foto berpigura itu. Sesuatu menariknya. Menggugah hati Justin untuk mendekat dan melihat. Namun sisi lain dirinya menolak, memberontak di dalam. Degup jantung mendadak cepat. Justin berdebar, seperti akan bertemu cinta pertamanya.

Wanita pemilik rumah kembali dengan gelas-gelas berisi teh hangat. Ia meletakkannya di atas meja satu-persatu. Satu gelas disodorkan untuk Justin. Wanita itu tersenyum sembari menatap lembut pada Justin. Tarikan bibir darinya membuat Justin merasakan deja vu. Detik itu, rumah ini terasa tidak lagi asing. Justin mengenal tiap sudutnya. Aroma khas ini menggiringnya ke dalam ingatan lampau. Justin merasa berada dalam lingkup aman di rumah orang asing ini.

Semua semakin terasa aneh.

"Nama almarhum anakmu siapa ya, Ti? Lupa aku," kata Nenek tiba-tiba.

Wanita yang dipanggil Ti, menoleh, kemudian menjawab, "Baru inget aku, kemarin habis cuci foto! Sebentar, tak ambil." Jawabannya sungguh menyimpang dari pertanyaan awal Nenek, tapi tampaknya wanita itu tak mempedulikan.

Bingkai foto dengan energi ganjil yang menarik dalam diri Justin, diambil. Dalam rengkuhan wanita tua itu. Justin ikut gugup, padahal kalau dipikir, tiada hal yang patut dijadikan bahan grogi.

Wanita itu kembali duduk di tempatnya. Ia tersenyum lebar sembari menunjukkan bingkai foto berisi tiga orang. Satu pria bertubuh besar, juga dua wanita yang mana salah satunya adalah Neti di masa muda. Gadis muda di tengah-tengah tersenyum lebar. Rambutnya dipotong pendek. Jantungnya seolah diguncang kuat dalam waktu yang teramat singkat. Justin berkeringat dingin. Sebuah nama mengganjal di pangkal lidah.

"Zaman kapan ini? Waktu anak kita masih SMA, ya? Aduh, jadi nostalgia." Nenek tertawa di akhir kalimat.

Justin juga merasakan nostalgia. Di tengah kebingungan ganjil. Perasaan campur aduk yang enggan menunjukkan kepastian.

"Yang di tengah, siapa namanya, ya? Lupa aku," kata Nenek.

Nenek Neti menepuk pelan pangkuan Nenek dengan muka kecewa yang bercanda. "Anakku loh itu, si Lily!"

Nenek diam sebentar, kemudian terdengar tawa. "Oh, iya, Lily, ya? Baru ingat, pantes kalau lagi berkebun suka ingat."

Obrolan dua teman lama itu berlangsung lama. Semakin lama bergulirnya waktu, semakin menyenangkan. Sedangkan Justin di sini terdiam cukup lama. Bungkam dengan jantung berpacu tak menentu. Begitu Nyonya Neti menyebutkan nama mendiang sang anak, tiada lagi lubang di kepala. Justin ingat betul wajah di balik kaca pigura itu. Ia ingat jelas siapa wanita itu. Siapa wanita di pemakaman siang tadi. Wanita yang sama yang muncul menghiasi tidur sore harinya. Dia yang membuat Justin merasa gila akibat menyukai suatu hal yang tak nyata.

Tidak tahu harus tambah gila atau merasa lega. Lily. Kendati hadirnya macam bidadari kayangan yang hanya mungkin muncul di alam bawah sadar, ia betulan hidup di dunia yang sama dengan Justin. Poninya yang rata itu nyata adanya. Senyum manis bak air susu itu betulan ada. Gaun putih yang senantiasa digunakannya benar nyata.

Lily pernah ada di dunia ini.

Bukan hantu, atau apapun yang pernah Baim katakan padanya. Dia betulan manusia. Dengan garis takdir berada di sisi mendiang sang ibu sebagai teman. Tambah gila rasanya. Justin ingin menolak keras pemikiran tidak masuk akal itu. Namun sesuatu yang lain dalam diri terus memaksa untuk setuju. Hatinya berat untuk menerima, kalau cintanya jatuh pada gadis yang telah meninggal beberapa tahun lalu.

"Bisa gak kita ketemu waktu gue bangun nanti?"

"Kamu betulan mau ketemu sama saya?"

"Iya. Pengen banget."

"Kalau kamu tau identitas saya di dunia, kita gak bisa ketemu lagi di sini, lho!"

Dialog singkat itu terhenti akibat suara Nenek yang tiba-tiba menyela, "Kamu kenapa nangis, Tin?"

Justin sungguh tidak tahu. Saat tangan menyentuh pipi, sudah didapati becek akibat air dari sepasang netra. Ia langsung menghapus jejak-jejaknya dengan terburu. Justin menggeleng, beralibi kalau debu-debu masuk mengganggu matanya. Hati mendadak berat. Sebuah rasa tak rela. Gadis yang selama ini ia damba, sudah tidak ada lagi presensinya. Walau otak menolak keras untuk menangis, tubuhnya tidak demikian. Sakit seolah dirasa tidak hanya oleh hati. Seluruh anggota tubuhnya ikut merasa iba, hingga sepasang indra penglihat mengeluarkan cairannya tanpa dipinta.

Lily. Dia lebih jauh dari yang Justin kira.

***

jadi, bagaimana permirsa?

That Woman in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang