~ Chapter 8

616 128 5
                                    

[Happy reading!]

Jeritan semangat mengudara. Teriak sana-sini di ruang tengah. Sepupu-sepupu kecilnya tengah asik bermain. Satu-dua yang duduk diam bermain ponsel. Justin berada di tengah-tengah. Perintah Nenek untuk menjaga mereka semua membuat Justin bertahan di sini. Kalau boleh memilih, Justin akan berdiam di kamar saja sambil membaca buku-buku koleksi mendiang sang ibu daripada menjadi babysitter dadakan.

"Mas Justin, Asa gak mau berbagi!" Seorang gadis usia empat menarik-narik lengan baju Justin. Wajahnya memerah menahan tangis.

Justin sangat-amat-berusaha-sekali untuk menarik ujung bibir dan tersenyum. Senyum palsunya diusahakan betul-betul untuk terlihat ikhlas dan manis. Rambut yang diikat dua itu Justin usap penuh sayang. Matanya berpendar mencari sosok sepupu kecilnya yang bernama Asa. Gadis cilik usia tiga tahun itu sedang duduk manis memainkan boneka beruang di pangkuan.

"Asa," panggil Justin.

Asa menoleh, kemudian tersenyum lebar.

"Sini, main bareng-bareng sama Kak Sarah, ya?" Justin berusaha sekali membuat suaranya lembut dan enak didengar.

Asa manggut. Dia merangkak mendekat, tak lupa bonekanya dibawa. Sarah ikut duduk di samping Asa, meski wajahnya masih murung merajuk. Justin menghela napas lega. Masalah sudah terselesaikan. Kembali ia sandarkan bahu ke sofa di belakang.

"Bang Justin!" Romi di kanannya memanggil dengan suara keras.

"Apa?" Justin menyahut malas.

"Abang main game ini, gak?" Romi dengan mata berbinar menunjukkan isi layar ponselnya.

Justin mengamati sesaat, kemudian bergeleng. "Enggak main game."

Romi berdecak, memandang Justin bosan. "Ah, Abang gimana! Masa gak main game? Apa enggak bosen tuh," celetuk Romi.

"Ya mau gimana lagi," sahut Justin.

Romi menjauh darinya, bergabung dengan sepupu-sepupu sebaya, bermain game online. Dasar anak zaman sekarang. Justin kembali bersandar pada dudukan sofa. Tiba-tiba saja kepala belakangnya didorong oleh sebuah kaki. Justin menoleh, mendapati sepupu kecilnya yang tengah duduk manis di atas sofa tertawa puas karena berhasil mengganggu. Justin tidak pandai bercanda dengan anak kecil, ia memilih abai.

Justin menatap televisi menyala di depannya. Acara kartun anak-anak yang sedang menyanyikan lagu tema mereka. Justin meraba sisi kanannya, meraih remote.

"Aku ganti, ya ...," ujar Justin entah pada siapa.

"Jangan!" pekik bocah kelas satu SD yang tengah duduk anteng di atas sofa. "Akuk lagi nonton!" lanjutnya.

"Oke, sorry," kata Justin mengalah. Remote kembali diletakkan.

Cowok itu menghembuskan napas putus asa. Bosan. Nenek dan para tante lama sekali pergi belanjanya. Di sini Justin butuh bantuan. Mengurus enam anak kecil tidak semudah mengerjakan sepuluh soal Matematika. Serius. Matanya menyapu dari ujung sampai ujung. Dari arah dapur, muncul seorang gadis yang satu tahun lebih muda darinya. Namanya Effelin, kakaknya Asa. Justin baru ingat kalau cewek itu tetap di rumah bersamanya.

Tapi percuma juga. Effelin orangnya pendiam, bicara seperlunya, kurang-lebih sama seperti Justin. Bedanya, dia diam karena malu, sedangkan Justin diam karena malas bicara. Cewek itu ragu-ragu mendekati Justin dan keenam bocah yang sibuk bermain. Effelin memilih duduk beberapa senti di sisi kiri Justin, ikut serta dalam permainan Sarah dan Asa. Tidak dekat dengan sepupu memang merepotkan. Sepertinya Justin harus mencoba berbaur.

That Woman in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang