PISAH RANJANG

676 28 0
                                    

Derap langkah Intan mendekati manusia-manusia yang tamak harta itu.

Berhenti sejenak untuk menatap wajah-wajah itu lalu pergi tanpa kata. Seketika, ketiga manusia ini menghela napas lega.

“Tuh, lihat! Istrimu itu ga ada sopan santunnya sama mertua,” umpat Sekar kesal dengan kepergian Intan tanpa pamit.

“Secara tak langsung dia sudah menghina kamu sebagai suaminya,” imbuhnya lagi.

“Kamu harus terus pengaruhi istrimu untuk mau menyerahkan perusahaan itu!” titah Sekar setelah mendengar mobil Intan berlalu.

“Jangan mau kamu ditindas sama istri! Kamu juga punya hak dengan harta Intan,” lanjutnya lagi.

“Sampai kamu ga bisa mengambil alih perusahaan Intan, bisa-bisa kamu hidup di ketiak istrimu terus.”

“Tapi, bagaimana kalau Intan ga mau?” keluh Hans yang tak bisa berpikir.

“Cari caran dong ,Mas!” tukas Ajeng. “Dia kan cinta mati sama kamu. Ancam saja biar dia tak bisa berkutik.”

“Bener juga yang dibilang Ajeng?” Ide adiknya masuk logika.

“Kalau perlu tinggalin saja dia, jika ia menolak,” tukas Sekar. “Lagian dia ga bisa kasih anak tho?”

“Jangan!” bantah Ajeng membuat ibu dan kakaknya menatap tajam ke arahnya.

“Kalau Mas Hans ninggalin Mbak Intan bisa-bisa kuliahku kelar di tengah jalan,” jelas Ajeng.

“Bener juga.” Sekar mengiyakan. “Kamu harus bisa pegang kendali perusahaan Intan dulu dan mengeruk semua hartanya,” titah Sekar serakah.

“Tapi, gimana caranya, Bu?”

“Kamu itu sarjana tapi otaknya kaya anak SD!” umpat Sekar membuat Hans jadi bahan tertawaan adiknya.

****************

Intan menunggu dengan gusar Hans yang belum pulang juga. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Wanita cantik itu mondar-mandir bak gosokan berjalan. Rasa lega baru datang setekah mendengar suara mobil Hans.

Setengah berlari, Intan membukakan pintu dan menyambut kepulangan sang suami dengan senyum mengembang.

‘Kamu sudah pulang, Mas?”

“Hm.” Hanya itu yang terdengar dari mulut Hans. Laki-laki itu langsung menaiki anak tangga untuk menuju ke kamar. Intan mengekor dari belakang.

“Mas, gimana kalau kamu ikut kelas bisnis dulu!” usul Intan saat mereka sudah di kamar.
“Ga lama kok, cuma enam bulanan.”Ucapan Intan tak ada jawaban.

“Ini buat kebaikan kamu juga agar bisa jadi pembisnis yang ulung,” lanjutnya, bukan membuat Hans senang malah membuatnya tersinggung.

“Bilang saja kamu tak percaya ma aku!” tukasnya kesal.

“Bukan begitu, Mas,” bujuk Intan. “Aku ingin kamu maju dengan punya ilmu bisnis.”

“Ah, capek ngomong sama wanita egois seperti kamu.” Hans beranjak dan mengambil koper. Lalu memasukan baju-bajunya satu per satu membuat Intan panik.

“Kamu mau ke mana, Mas?”

“Aku mau ke rumah ibu,” ucapnya. “Untuk apa aku tetap di sini jika tidak dihargai sebagai kepala keluarga?”

“Kenapa sih kamu jadi begini?” tanya Intan tak mengerti perubahan sikap suaminya.

Hans tak begeming. Kemarahan dan rasa terinjak-injak harga diri membuatnya tak mau mendengar istrinya. Dengan buru-buru ia menuruni anak tangga dan melajukan mobil.

PELAKOR TEKORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang