BERATNYA MERAWAT IBU

1.1K 54 2
                                    


Hans pulang ke rumah. Tak mungkin ia kembali ke rumah sakit  dengan baju basah kuyup. Secangkir kopi yang dibuat sendiri mampu menghangatkan tubuh dan menenangkan pikiran yang banyak beban.  Namun, ketenangan sejenak itu terusik dengan panggilang dari Ajeng.

“Iya, Jeng,” sahutnya malas.

“Mas, gimana sudah dapat uangnya belum?” tanya Ajeng gusar. “Tiga puluh menit lagi Ibu dioperasi, kalau tidak,” terdengar suara Ajeng mulai berat dengan diiringi isak tangis.

“Oke, aku segera ke sana.” Hans menutup saluran telepon.

Ia menarik napas panjang. Sungguh berat ketika orang tercinta kita masuk rumah sakit lalu kita tak mempunyai uang sepeserpun. Hanya rasa bingung dan cemas menyelimuti.

Hans masuk ke kamar sang ibu. Menggeledah isi lemarinya dan menemukan jalan satu-satunya untuk menyelamatkan hidup sang ibu malam ini juga.

“Ini dua ratus juta dengan angsuran lima juta per bulan!” ucap Pak Mahmud, rentenir kelas kakap.

“Iya, Pak, terima kasih,” ucap Hans kemudian berlalu.

Alhamdulillah, berkat uang pinjaman rentenir itu, Sekar bisa dioperasi dan sekarang sudah dipindahkan ke ruang perawatan.

“Pak Hans, setelah ini Bu Sekar harus rutin control ke rumah sakit, terapi dan tak bisa lepas dari obat darah tinggi dan stroke ya!”pesan Dokter sebelum meninggalkan ruangan.

*************

Seminggu dirawat akhirnya Sekar boleh dibawa pulang. Banyak yang berbeda dari Sekar. Ia harus hidup dengan kursi roda. Namun, untungnya mulut dan tangan Sekar tak terkena dampak stroke.

“Mas, ngojek dulu ya!” pamit Hans sesudah sarapan. “Tolong suapin dan masakin Ibu!” titah Hans pada adiknya yang pagi-pagi sudah asyik dengan ponselnya.

Dengan malas Ajeng mendekati ibunya yang duduk dekat meja makan. Dengan telaten, ia menyuapi ibunya. Lalu memberikannya teh manis.

Selesai urusan mengurus ibu, ia dihadapkan dengan tumpukan cucian kotor dan piring kotor. Dengan kesal ia memasukan baju-baju ke mesin cuci. Mencuci perkakas dapur.

Selesai menjemur, ia diharuskan memasak untuk sang ibu. Karena sang ibu tak boleh makan sembarangan. Harus banyak makan sayur dan buah.

“Ibu males ah, makan sayur terus!” tolak Sekar kasar saat Ajeng menyuapinya dengan sayur bayem dicampur jagung.

“Tapi, kata Dokter, Ibu hanya bisa makan sayur dan buah,” jelas Ajeng.

“Ga mau!” Sekar melempar piring itu hingga jatuh berserakan di lantai bersama isinya. “Ibu, mau iga bakar!” tukasnya.

“Bodo ah!” Ajeng ikut tersulut emosi.

Selesai membersihkan sisa makanan yang terbuang, Ajeng mengambil tas dan bergegas pergi.

“Mau ke mana kamu?” tanya Sekar kasar.

“Mau refreshing,” jawab Ajeng dengan muka masam. “Capek nguirusin Ibu terus tapi ga ada yang bener.”

“Lalu, Ibu di rumah sama siapa?”

“Sendirilah,” sahutnya kemudian berlalu. Tak perduli teriakan sang ibu yang memanggilnya untuk pulang.

“Bener-bener anak yang tak empati pada orang tua,” ucap Sekar sedih dengan sikap anaknya. Tak terasa air matanya jatuh berlinang.

**************

Selepas magrib Hans pulang. Wajahnya penuh guratan rasa lelah. Sekar mendorong kursi rodanya untuk menghmapiri Hans yang sedang rebahan di sofa.

“Hans, antarin Ibu ke kamar mandi dong!” pintanya. “Ibu mau pipis.”

“Lho, bukannya Ibu pakai pampers?” tanya Hans.

“Ga mau ah Ibu pakai pampers, risih,” keluhnya. “Kaya bayi aja.”

“Ya sudah, sama Ajeng saja!” sahut Hans yang hendak memanggil adiknya.

“Ajeng ga mau nganterin ke kamar mandi,” sahut Sekar kesal.

“Ajeng!” teriak Hans membuat adiknya ke luar dari kamar. “Anterin Ibu ke kamar mandi!”

“Ga mau ah,” tolak Ajeng dengan kesal. “Capek tahu Mas, bolak-balik bawa ibu ke kamar mandi. Sudah bau, badan ibu berat lagi.”

“Kamu ga sopan banget ya ngatain ibumu sendiri?” sentak Sekar. “Kamu itu lahir dari rahim ibu. Dari kecil samapai dewasa kamu itu hidup pakai uang ibu!” Sekar mengungkit pengorbanannya untuk Ajeng dan Hans.

“Terus saja itu yang dibahas!” sentak Ajeng berlalu.

“Tuh kan?” Mata Sekar melotot. “Adikmu itu memang anak durhaka.”

“Mulai besok Ibu pakai pampes saja ya!” pinta Hans.

“Ga mau,” tolak  Ajeng. “Ayo, anterin Ibu ke kamar mandi!” pintanya lagi.

Mau tak mau di tengah rasa lelah, Hans harus mengangkat sang ibu ke kamar mandi. Seketika bau pesing menyeruak. Mau tak mau ia harus menyiramnya.

*************

“Ya ampun Ibu!” teriak Ajeng pagi-pagi sudah mengagetkan Hans yang baru bangun tidur.

“Ada apa, Jeng?” tanya Hans setelah masuk ke kamar ibunya.

“Ini Ibu ngompol di kasur,” gerutu Ajeng. “Bau lagi.”

“Maaf, Ibu semalem kebelet pipis, Panggilin kalian tapi ga ada yang datang,” ujar Sekar membela diri.

“Makanya pakai pampers!” omel Ajeng. “Kalau gini kan nyusahin orang.”

“Ya, sudah kamu bersihin lalu mandiin ibu!” titah Hans membuat Ajeng makin kesal.

“Kok aku sih?” tukasnya sengit.

“Lalu siapa lagi?” teriak Hans.

“Ya, Maslah.”

“Ajeng, aku tuh sudah capek ngojek buat kita makan,” sahut Hans. “Masa iya, harus ngurus Ibu juga?”

“Tapi aku capek, Mas, seharian ngurus Ibu,” curhat Ajeng. “Aku tuh masih muda, masa iya kerjaannya cuma di rumah, ngurus Ibu di rumah, kan boring jadinya.”

“Ah, pokoknya Mas ga mau tahu,” tepis Hans. “Kamu harus ngurusin Ibu kalau mau tinggal di sini dan makan!” tukas Hans langsung pergi, bersiap pergi ngojek.

Dengan kesal, Ajeng memandu ibunya ke kamar mandi. Menyiram badan yang sudah tak berdaya itu. Sepanjang mandiin ibunya, ia tak henti mengomel sendiri.

“Sudah tua malah nyusahin anak,” gerutu Ajeng dengan tetap menggosok badan ibunya.

Sekar terdiam. Rasa nyeri menyeruak ke hati. Anak yang dia manja selama ini ternyata tak ikhlas merawat dirinya saat tak berdaya.

****************

Ajeng merabahkan diri di kasur. Rasa lelah mendera tubuh gadis itu. Seharian menemani sang ibu terapi dan kontrol, tentu menguras tenaga. Gadis muda yang gagal menjadi dokter itu tak pernah membayangkan jika hidupnya akan terkekang seperti ini. Tak puya kebebasan untuk kumpul dan hang out bareng teman-teman.

“Apes banget sih hidup gue,” umpatnya dengan menatap langit-langit kamar. “Sudah ga lulus kuliah, sekarang harus jadi baby sister bayi tua plus pembantu.

“Dulu, waktu Mas Hans sama Mbak Intan, hidupku enak. Semuanya serba difasilitasi sama Mbak Intan. Mau apa saja tinggal gesek kartu kredit. Lha, sekarang boro-boro beli baju baru, makan enak saja sebulan bisa dihitung berapa kali.”

“Dulu, waktu sama Mbak Flo, semua pekerjaan rumah tangga dikerjain sama dia. Aku dan Ibu kerjaannya hanya ongkang-ongkang kaki. Lha sekarang, semua yang ngerjain aku. Belum lagi bau ompol Ibu.”

Ajeng mengenang masa-masa bersama dua iparnya. Menyesal, ia sudah menyia-nyiakan kebaikan kedua iparnya itu.

“Andai waktu dapat berputar kembali.”

*****

PELAKOR TEKORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang