BADAI RUMAH TANGGA

892 45 0
                                    


Besar pasak daripada tiang, akhirmya perusahaan Hans bemar-benar bangkrut. Usahanya mencari pinjaman kesana kemari tak membuahkan hasil. Perusahaan besar itu disita bank.

Hans meratapi kebangkrutannya. Dunianya luruh seiring disegelnya perusahaan. Satu-satunya kebanggaannya kini tinggal kenangan.

“Pak, bagaimana dengan pesangon kami?” tanya sekertaris mewakili semua karyawan.

“Kalian lihat sendiri kan, perusahaan disita Bank?” tanya Hans pasrah. “Bagaimana saya bisa memberi kalian pesangon?”

“Harus, Pak!” tegas bagian keuangan. “Semua ada di peraturan Undang-Undang Tenaga Kerja.”

“Kalau Bapak tak memberi kami pesangon, kami akan tuntut Bapak ke meja hijau!” ancam seorang karyawan yang disambut semangat yang lainnya sehingga membuat Hans panik.

“Iya, betul, Pak!” sorak yang lain.

“Tenang…tenang…tenang…!” Hans mengangkat sepuluh jemarinya, menenangkan karyawannya. “Kita bisa bicarakan baik-baik hal ini!” imbuhnya untuk meredam kemarahan karyawan.

“Permintaan kami cuma satu!” teriak seorang karyawan. “Bapak bayar gaji kami dan pesangon!”

“Ya, titik!” sambut yang lain.”

“Baik, baik, baik!” Hans menyanggupi tuntutan itu. “Saya akan bayar gaji dan pesangon kalian secepatnya.”

“Saya tunggu janjinya!” tegas karyawan kemudian berlalu.

Hans menghela napas panjang. Nafasnya berat terasa. Langkah kakinyapun terasa berat saat diajak melangkah meninggalkan gedung megah itu.

************

Dengan gontai Hans masuk ke rumah. Flo menuruni anak tangga saat ia mendengar deru suara mobil sang suami. Dilihatnya wajah murung suami yang duduk lemas di sofa dengan dasi yang dilonggarkan.

“Perusahaan disita Bank, Dek,” cerita Hans sebelum istrinya bertanya.

“Kenapa tidak ditawarkan ke Intan saja sih, Mas, kemarin-kemarin?” gerutu Flo.

“Pinginnya sih begitu,” sahut Hans dengan nada lemah. “Tapi sudah keduluan Bank menyita perusahaan.”

“Mas sih, apa-apa lamban,” tukas Flo kasar.
Sebenarnya Hans ingin marah dengan sikap kasar istriya. Tapi, ia ingat tuntutan pesangon itu. Jadi ia memilih bersabar untuk merayu istrinya agar mau mengeluarkan uang untuk pesangon karyawannya.

“Mana, karyawan menuntut pesangon lagi,” keluh Hans.

“Ya, jelaslah,” tukas Flo sengit. “Itu kan sudah menjadi hak mereka.”

“Tapi masalahnya, aku tak punya uang sama sekali.”

“Pinjam  Ibu, Mas!” usul Flo.

“Ibu mana boleh?” keluh Hans lagi. “Ibu itu perhitungan kalau soal duit.”

“Terus mau pinjam siapa?” Flo ikut risau.

“Bagaimana kalau pakai uang kamu dulu!” pinta Hans mengejutkan Flo.

“Kalau uangku dipakai, kebutuhan kita sehari-hari darimana?”

“Kamu bisa jual perhiasanmu, Dek!” paksa Hans. “Kan lumayan, Dek, sepertinya bisa untuk membayar pesangon karyawan.”

“Kenapa tidak jual mobilmu saja, Mas!” Flo kesal, setiap masalah utang, dia terus yang berkorban. “Bukankah mobilmu itu sudah lunas?” selidiknya. “Lumayanlah kalau dijual bisa untuk membayar pesangon.”

“Kalau mobil itu dijual, aku pergi kemana-mana pakai apa?” Hans berat hati melepas mobil Fortuner kesayangannya.

“Bisa pakai mobilku, Mas,” sahut Flo enteng.
Daripada berdebat tak ada ujungnya, akhirnya Hans menjual mobil yang dibelinya dari hasil bekerja beberapa tahun di perusahaan yang lama. Satu masalah teratasi. Pesangon dan gaji terakhir karyawan tertunaikan.

*************

Selepas menyandang menjadi pengangguran, Hans langsung mencari kerja ke sana kemari. Meminta bantuan kepada teman-temannya jika ada lowongan di kantor. Namun, usahanya tak  membuahkan hasil selama sebulan ini. Ia masih berstatus sebagai pengacara, ‘pengangguran banyak acara’.

“Gimana Mas, dapat kerjanya?” tanya Flo sesudah menyediakan kopi untuk sang suami.

“Belum, Dek.” Hans menggeleng pelan.
Flo menghela napas panjang. Kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Meski uang tabungan kian menipis tapi ia tak ingin menambah beban pikiran suaminya.

“Ya, sudah Mas mandi dulu ya!” Flo menepuk bahu suaminya seolah-olah menegarkan jika semua bisa terlewati.

“Habis itu baru makan,” lanjutnya yang hendak beranjak tapi terganggu dengan teriakan orang dari luar.

“Pak Hans, Pak Hans!” teriakan itu kencang sekali dan berulang-ulang.

Hans panik menatap istrinya sekilas. Lalu bangkit menghampiri si pemilik suara yang diekor Flo. Dua laki-laki plontos sudah berdiri di depan mata dengan wajah garang.

“Pak Hans, lunasi hutangmu sekarang!” hardik laki-laki berkepala plontos yang tak lain tukang tagih rentenir.

“Utang yang mana?” kilah Hans dengan wajah gugup.

“Utang lima puluh juta bulan lalu!” hardik si penagih. “Jangan pura-pura pikun kamu!” sentaknya.

“Mas, punya utang lima puluh juta?” teriak Flo yang langsung panik. “Untuk apa?”

“Un...un..,.untuk bayar cicilan bank, Dek,” sahut Hans ketakutan.

“Cepetan Bayar!” sentak si penagih dengan menarik kerah kemeja Hans. “Kalau enggak aku bikin perkedel kamu!”

“Ampun Bang, ampun!” Hans bernapas lega saat kepalan tangan si penagih itu terlepas dari kerah bajunya.

“Saya akan bayar secepatnya!” janjinya.

“Baik!” gertaknya. “Saya akan datang dua hari lagi!” si penagih memberi kelonggaran. “Kalau kau tidak bisa bayar hutang, nyawa taruhannya!” gertaknya kemudian berlalu.

“Dek, tolongin lagi, Dek!” rengek Hans langsung. “Tolong bayarin utangku!” wajahnya memelas. “Aku ga mau mati sia-sia.”

“Duit darimana?” tukas Flo juga bingung memikirkan utang suaminya yang menumpuk.

“Bisa pinjam ibu kamu kek?” usul Hans. “Yang penting nyawaku terselamatkan.” Hans dihantui ketakutan.

“Aku ga mau meepotkan ibuku!” tolak Flo.

“Kalau begitu, kamu jual perhiasan yang sudah aku beri!” usul Hans kembai menjilat ludahnya sendiri.

“Apa, Mas? Kamu minta kembali barang yang sudah kamu kasih ke aku?” hardik Flo benar-benar kesal.

“Mau gimana lagi.” Hans ga mau tahu. “Kamu mau aku mati sia-sia dan kamu jadi janda?” tukasnya mulai marah.

Mata Flo membulat. Tak percaya suaminya semarah ini. Tak seharusnya ia tersulut emosi saat suaminya terpuruk. Walau bagaimanapun juga, suami istri itu saling berbagi baik suka maupun duka.

Maka dari itu, meski berat hati, akhirnya ia merelakan semua perhiasannya dijual untuk bayar utang.

***************

Flo kira, utang sang suami sudah habis. Nyatanya masih ada beberapa rentenir yang datang ke rumah menagih dengan kata-kata tak sopan dan ancaman. Hans panik dan tak bisa berbuat banyak.

Tak tega suaminya dicaci dan digebukin bahkan diancam akan dipenjarakan, Flo merelakan mobilnya untuk dijual dan membayar hutang. Dia masih enggan bercerita tentang kesusahan pada sang ibu. Karena sedari kecil sang ayah selalu menasihiati sebisa mungkin menyelesaikan masalah keluarga tanpa campur tangan orang tua. Tak baik menambah beban pikiran orang tua setelah menikah.

**********

Bagaimana kisah rumah tangga Flo selanjutnya?

Apakah ini utang terakhir Hans?

UP TIAP HARI

PELAKOR TEKORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang