IBU DZOLIM

938 49 0
                                    


Hans tak menduga jika Intan punya perusahaan baru yang bergerak dalam bidang yang sama dengan perusahaan yang ia rebut. Setahunya dulu Intan hanya memiliki usaha salon, laundry dan supermarket kecil-kecilan.

“Sialan!” Hans meninju meja kerjanya. “Ternyata Intan menyembunyikan hartanya dariku!” umpatnya kesal.

Tumpukan surat tagihan menarik perhatian. Ada surat tagihan dari lima bank berbeda yang masing-masing nominal yang harus dicicil adalah seratus juta. Tiga cicilan kartu kreditnya dan satu cicilan kartu kredit milik Ajeng.

Mata Hans membulat, menikmati tagihan kartu kredit adiknya yang over limit.

“Boros sekali Ajeng?” gerutunya. Tak berapa lama ia memanggil bagian keuangan via telepon.

“Bapak, panggil saya?” tanya seorang wanita muda setelah masuk ke ruangannya.

“Tolong bayar semua cicilan ini!” Hans menyodorkan semua surat itu kepada bagian keuangan.

“Baik, Pak!” sahutnya kemudian berlalu.

Tak berapa lama pintu ruangan Hans terbuka lagi. Tampak Sekar dan Ajeng tersenyum padanya.

“Hans, bagi ibu duit, dong!” todong Sekar tanpa basa-basi. “Ibu, pingin beli berlian di Jeng Cantika.”

“Aku juga Mas, mau beli handpone baru,” sambung Ajeng. “Handpone yang ini sudah ketinggalan model.”

“Ibu, uang melulu sih?” hardiknya membuat Sejar terkejut. “Kamu juga, Jeng, gunain kartu kredit seenaknya. Emang tagihannya murah?” Ajeng ikutan kena semprot.

“Ya, wajar dong, ibu minta uang sama anak sendiri?” semprot Sekar tambah lebih garang.

“Iya.” Ajeng menimpali.

“Ingat ya Hans, semua uang makan, pakaian, tempat tiggal dan pendidikan itu dari kamu lahir hingga dewasa, itu pakai uang ibu. Hasil keringat ibu. Jadi sudah sewajarnya kalau ibu minta balas budi.” Sekar mengungkit perjuangannya sebagai ibu. “Tanpa ibu kamu ga bisa sesukses ini.”

“Aku tahu, Bu!” Hans sadar diri.”Tapi ibu itu terlewat boros. Sebulan bisa empat kali beli berlian. Belum shoping dan makan di restoran mahal. Ditambah ibu sekarang suka jalan-jakan ke luar negeri atau luar kota bareng Ajeng dan teman-teman sosialita ibu itu.”

“Ya, harus Hans!” tegas Sekar. “Kalau Ibu tidak bergaya mewah seperti mereka, bisa-bisa mereka meremehkan ibu.”

Hans terdiam. Percuma saja menimpali ucapan sang ibu yang sedari dulu tak pernah mau mengalah meskipun dengan anak-anaknya. Di rumah, ibu memang paling berkuasa. Almarhum ayah saja yang profesinya sebagai guru hanya bisa bertekuk lutut di hadapan wanita ini.

“Ga akan habis uangmu Hans untuk nyenengin ibu malah akan tambah banyak dan banyak uang anak itu untuk nyenengin orang tuanya,” ceramah Sekar sudah mirip Mamah Dedeh.

“Udah sini, bagi uang sama ibu enam puluh juta!” hardik Sekar.

“Aku juga sepuluh juta.” Ajeng tak ingin menyia-nyiakan kesempatan.

Dengah terpaksa Hans mengambil uang dalam laci, yang seyogyanya mau disetor untuk biaya operasional kantor

“Nah, gini dong!” Sekar merebut amplop itu dari tangan Hans. “Kan ibu jadinya seneng terus,” senyumnya. “Kalau ibu bahagia, rezeki anak juga lancar.”

**************

Dengan gontai, Hans duduk di sofa sore itu. Merenggangkan dasi yang seharian mengikat lehernya. Menarik nafas panjang lalu menghembuskannya. Dan diulanginya beberapa kali. Tampak rasa lelah dan letih tersirat di wajah itu.

PELAKOR TEKORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang