DUDA MLARAT

1.2K 64 4
                                    


Enam bulan berlalu. Ajeng jenuh hanya dengan rutinitas merawat sang ibu yang hanya bisa duduk di kursi roda. Ia rindu kebebasan yang dulu ia miliki.

“Mas, aku capek ngurusin Ibu terus,” keluh Ajeng pada Hans.

“Emang kamu kira aku ga capek tiap hari ngojek?” seru Hans yang sedang menikmati kopi buatannya sendiri.

“Mas, rujuk aja sama Mbak Flo agar bisa ngurusin Ibu,” saran Ajeng. “Jadinya aku punya wakt untuk diri sendiri.”

“Aku juga kan pingin kerja,Mas. Jadi orang sukses dan mencari suami ya g tajir,” lanjut Ajeng.

Tampak di depan kamarnya, Sekar menangis mendengar percakapn kedua anaknya yang merasa terbebani dengan kehidupannya sekarang.

Hans termenung. Sebenarnya ia ingin rujuk dengan Flo tapi ia takut dengan mantan mertuanya yang tampak tak suka jika mereka kembali berumah tangga.

“Tok...tok…tok...!”

Ketukan pintu yang berulang-ulang menghentikan obrolan kakak adik itu. Hans segera keluar yang diekor oleh Ajeng. Dengan susah payah, Sekarpun mendorong kursi rodanya.

“Hans, bayar utangmu!” hardik laki-laki bertopi hitam. Sedang dua laki-laki besar berdiri tegap dengan tangan terlipat.

“Iya, Pak, nanti saya bayar kalau sudah punya uang,” ucap Hans dengan rasa takut.

“Enak saja, kamu ngomong!” sentak si bapak. “Sudah enam bulan nih kamu ga bayar utang dan bunganya!”

“Kamu punya utang ke rentenir?” sentak Sekar.

“Iya, Bu,” sahut Hans.” Untuk baiya rumah sakit ibu dan terapi Ibu.”

“Hans, kamu tuh jadi orang kok ceroboh banget!” maki Sekar. “Kenapa harus hutang rentenir?” hujatnya.

“Aku sudah cari  pinjaman ke sana kemari tapi ga ada yang mau ngasih pinjaman sebanyak itu,” jelas Hans. “Sedang Ibu harus segera dioperasi kalau tidak, Ibu bisa tak tertolong.”

“Kenapa kamu ga minta Intan?” tukas Sekar yang masih tak terima kenyataan kalau anaknya hutang ke rentenir.

“Intan ga mau nolong, Bu,” sahut Hans emosi jika mengingat pertemuan terakhirnya dengan sang mantan istri pertama.

“Lalu Flo?” selidik Sekar. “Ia yakin, mantu keduanya itu cinta mati pada Hans dan mau memberinya bantuan.”

“Aku sudah menemui Flo tapi ibunya melarang Flo membantu kita, Bu,” sahutnya lirih.

“Sudah diskusinya?” tanya Si Bapak sesudah ibu dan anak itu terdiam.

“Beri saya waktu, Pak, untuk melunasi huitang saya!” Hans meminta kelonggaran.

“Aku sangsi sama kamu!” hardik rentenir. “Dari awal hutang saja kamu ga pernah bayar.”

“Sekarang kemasi barang-barang kalian!” teriaknya. “Rumah kalian saya sita!” ultimatum sang rentenir membuat ketiga manusia itu kalang kabut.

“Jangan sita rumah saya, Pak!” sentak Sekar. “Ini harta satu-satunya kami yang masih tersisa.”

“Iya, Pak, beri kami waktu untuk melunasinya!” Kali ini Ajeng ikut mengiba.

“Bagaimana kalian bisa membayar hutang dua ratus juta plus bunganya dalam waktu singkat?” cibir sang rentenir sambil mengamati Ajeng dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Kecuali,” imbuhnya dengan tatapan nakal.

“Kecuali apa, Pak?” tanya Hans.

“Kecuali kalau nona cantik mau jadi istri keempat saya,” imbuh rentenir dengan senyum menyeringai membuat Ajeng bergidik takut.

PELAKOR TEKORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang