KETAHUAN SELINGKUH

903 40 7
                                    

Hans tak langsung menjawab pertayaan istrinya. Sikapnya salah tingkah dengan tatapan sang istri yang setajam mata serigala.

“Ya, karena mereka tak berkompeten.” Dengan gugup Hans memberi alasan.

“Ga kompeten gimana?” sahut Intan cepat dengan instonasi yang masih tinggi.

“Ya, Ayu itu ga becus kerja. Kerjanya lambat.
Semua proyek yang aku tangani gagal gara-gara dia.” Hans mencari kambing hitam untuk menutupi kesalahannya.

“Ayu itu sudah sepuluh tahun menjadi sekertarisku. Dia juga di sekolahkan ke sekolah bisnis selama setahun. Dan ia pernah memenangkan beberapa tender besar tanpa aku,” sahut Intan membuat suamninya tak berkutik.

Tapi laki-laki sombong itu ingat pesan ibunya, jika tidak boleh lemah di depan wanita.

“Jadi kamu nuduh, aku yang ga becus ngurus perusahaan?” hardik Hans.

“Ya!” Kilatan amarah di mata Intan terlihat.

“Mas itu sok pinter,disekolahin bisnis ga mau. Dan akhirnya, perusaan papaku start di jalan.”

“Kamu keterlaluan Intan!” bentaknya. “Cuma gara-gara belain karyawan yang ga becus kerja sampai kamu melukai perasaan suami sendiri.” Hans tak terima.

“Istri durhaka!” tuduhnya langsung keluar ruangan dengan membanting pintu.

Dengan kasar, Intan kembali duduk. Dadanya masih naik turun. Merasakan kemarahan pada sikap suami yang tak mau mengakui kesalahan. Dengan kasar ia mengusap wajahnya. Serasa putus asa dengan nasib perusahaan sang ayah.

************

Semilir angin memainkan anak rambut Intan yang sedang asyik menikmati kopi di pengunjung senja, di sebuah café berkonsep out door. Sesekali ia melirik jam di pergelangan tangan. Tak berapa lama, dua orang yang ditunggupun datan.

“Maaf, Bu, lama menunggu,” sahut Ayu sesudah mengambil duduk bersebelahan dengan Bima.

“Santai saja,” jawab Intan kalem. “Maaf aku ga tahu jika kalian dipecat sama Pak Hans.”

Bima dan Ayu saling berpandangan.

“Gapapa kok, Bu,” sahut Bima. “Kami sudah terima. Tapi…,” Bima tak melanjutkan kalimatnya sehingga mengundang tanya.

“Tapi kenapa?” selidik Intan.

Bima menggigit bibir bawahnya dan menatap Ayu sekilas seolah meminta pendapat.

“Ada apa ini?” Intan tampak tak sabar.

“Ke…keuangan perusahaan terus memburuk, Bu,” sahut Bima cepat.

“Memburuk bagaimana?” Suara Intan mulai meninggi. “Pemasukan stabil kok meski diambil banyak ke rekening pribadi.” Jelas Intan sesudah ia meneliti laporan keuangan dari karyawan baru.

Tanpa banyak bicara, Bima menyodorkan laporan keuangan terakhir sebelum ia resign. Intan buru-buru membacanya. Matanya melotot, melihat deretan angka yang menunjukkan kerugian perusahaan.

“Kenapa kamu tak hubungi saya, Bim?” tanyanya sedikit marah.

“Maaf, Bu! Pak Hans melarang saya untuk menghubungi ibu setelah saya dipecat.”

Intan menghela nafas panjang. Diusapnya wajah berulang kali dengan telapak tangan. Baru hitungan bulan, Hans diberi kekuasaan memimpin perusahaan, malah membuat bisnis yang sudah dirintis almarhum ayahnya dari nol hingga menjadi besar berantakkan begitu saja.

“Bu, saya takut perusahaan bangkrut karena kesini-sini klien besar pada tak percaya lagi dengan perusahaan kita.” Ayu membuka fakta.

Intan terdiam. Memikirkan nasib perusahaan sang ayah haruslah dengan kepala dingin. Jika ia bersikap gegabah langsung mengambil alih perusahaan, tentu Hans akan marah. Tapi jika diteruskan ia di perusahaan, bisa-bisa semuanya hancur.

PELAKOR TEKORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang