"Galen, awas!"
Bruk!
Sorai terjatuh, kakinya tertindih patahan kayu yang hampir saja mengenai kepala Galen.
"Awhh!"
Galen yang cukup kaget dengan apa yang barusan terjadi langsung berjongkok.
"Sorai, lo gak kenapa-napa?"
Sorai dan Galen terjebak di dalam gudang. Bukan terjebak yang kebetulan. Namun hal ini sudah direncanakan oleh Mentari.
Lalu entah bagaimana, ada patahan kayu di atas lemari yang Galen geser saat mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk membuka pintu. Sorai yang tak sengaja melihat refleks berusaha membantu.
Meski kakinya lecet, Sorai tetap tersenyum. Baginya, bisa melihat wajah khawatir Galen seperti ini saja sudah cukup. Sudah bisa mengurangi rasa sakitnya.
"Jangan geer, lo luka kayak gini karena udah nyelametin gue. Jadi wajar kalo gue tanya lo kenapa. Lagian gak bisa hati-hati sedikit aja."
Sorai menghela napas. "Iya, gue paham. Tapi kok lo jadi marah-marah sih, bukannya bilang terima kasih."
"Iya, thanks, Sorai Lentera."
"Dua kali kaki lo luka. Bekas yang awal aja belum ilang sekarang nambah lagi. Mana kali ini lebih besar lukanya."
"Yaudalah gapapa. Nanti juga bisa diobatin, kan?"
Pintu tiba-tiba terbuka. Mentari muncul dengan senyuman tanpa dosanya.
"Sebentar lagi kalian tampil. Ayo keluar," ujarnya tampak tenang sebelum melihat bahwa Sorai terluka.
"Tar, lo tahu kita ada di sini dari siapa?" tanya Sorai keheranan.
"Kan gue yang kunciin kalian berdua." Sorai dan Galen langsung melayangkan tatapan elangnya pada Mentari. Tapi cewek itu buru-buru menyela apa yang akan Sorai katakan. Ini bukan waktunya dia dihakimi.
"Eh, lo kenapa?" Mentari menatap Galen tajam. "Lo apain sahabat gue, Galen? Kalo lo gak suka tuh jangan buat dia kayak gini dong. Cukup hatinya aja yang lo buat sakit, jangan fisiknya juga. Jahat banget sih. Duh maaf ya, Sorai. Gue nggak tahu kalo Galen bisa sejahat ini sama lo sampai buat lo luka kayak gitu. Gue nggak bermaksud apa-apa kok. Gue pikir dengan begini kalian bisa jadi lebih deket. Gue cuma mau bantuin lo. Ini gimana dong jadinya, lo bisa tampil gak? Bentar lagi giliran kalian loh."
"Bisa diem dulu nggak, Tar? Di sini lo yang salah. Kenapa lo jadi nyalahin gue banget, ya? Mending sekarang bantuin temen lo. Malah nyerocos gak jelas. Aneh lo!"
Mentari langsung diam. Dia tersentak dengan suara Galen yang cukup tinggi.
"Udah, Tar. Gue nggak kenapa-napa. Kita masih bisa tampil. Iya kan, Galen?"
"Nggak!"
Galen berdiri, berjalan menuju pintu dan sengaja menabrak Mentari. Dia kesal pada cewek itu. Tidak sakit memang, tetapi Mentari cukup terkejut.
Lalu tanpa diduga, saat mendengar Sorai meringis lagi. "Awhh, Tar pelan-pelan."
Galen berbalik arah. Kembali ke tempat awal dan membopong tubuh Sorai. Tanpa babibu Galen membawa Sorai ke UKS untuk diobati.
"Eh, gue bisa sendiri kok."
"Biar cepet, gue berubah pikiran. Kita memang harus tampil. Gue paling nggak bisa mengecewakan banyak orang. Kalo gue udah setuju buat tampil, artinya gue harus tampil."
Menyaksikan adegan itu, Mentari hanya bisa menutup mulut. Mengikuti Galen dari belakang. Dia berkata dalam hatinya. "Ini udah mirip banget cerita novel khayalan lo, Sorai Lentera! Gue yakin sebentar lagi Galen bakal luluh juga."
Jantung sorai bergerak lebih cepat dari biasanya. Tak henti-hentinya dia tatap wajah tampan Galen. Sorai yakin Galen akan membantunya. Dia tahu, Galen tetap cowok yang bertanggung jawab. Dia tidak mungkin membiarkan Sorai tampil bersamanya dengan keadaan kaki yang seperti itu. Setidaknya, perban diperlukan.
Galen selalu menjadi pusat perhatian. Seperti saat ini. Setiap pasang mata mengarah kepadanya. Bisikan-bisikan gosip yang mengganggu telinga cowok itu mulai terdengar.
Kabar bahwa Galen dan Sorai semakin dekat cepat sekali mencuat karena banyak yang mengabadikan moment itu.
"Galen udah bener-bener move on ya dari Agnes?"
"Gak nyangka sih, secepat itu Galen move on? Dulu kan dia bucinnya Agnes."
"Wah, hebat juga Sorai bisa luluhin hati Galen."
"Oh, big no! Harusnya gue yang Galen gendong. Sorai beruntung banget."
Dari kejauhan, Brian juga menyaksikan semuanya. Cowok itu hanya bisa tersenyum miris. "Warna-warni cerita cinta. Sayangnya, gue kebagian warna hitam. Gelap, pekat dan redup, seperti tidak ada harapan. Kenapa suka sama lo harus sesakit ini, Sorai?"
"Tar, Sorai kenapa?" tanya Brian yang langsung memberhentikan Mentari.
"Umm gapapa kok, tadi kakinya lecet kena kayu. Gue juga kurang tahu sih kenapa-kenapanya. Tapi kayaknya, Sorai abis nolongin Galen."
"Mereka jadi tampil?"
Mentari mengangguk. "I-Iya Brian. Jadi kok. Ini Galen mau ngobatin lukanya dulu di UKS."
"Ohh oke. Lo jagain Sorai ya."
"Siap!"
Andai saja Brian tahu bahwa Mentari sangat iri pada Sorai yang bisa mendapat perhatian lebih darinya. Andai saja Brian tahu bahwa yang sangat tulus mencintainya ada didepan mata.
"Bri, kapan gue bisa miliki lo?" Batin Mentari.
"Tar, lo gapapa? Kok malah bengong."
"Gue gapapa. Gue cuma heran aja. Lo kayaknya sayang banget sama Sorai. Kenapa gak utarain aja perasaan lo. Sebelum terlambat."
"Apaan sih. Gue sama sama Sorai itu cuma sahabat kecil. Gak lebih."
"Gak usah bohong. Mata lo menyiratkan semuanya kok, Bri. Gue tahu."
Brian diam. Dia juga tidak tahu harus menyangkal bagaimana lagi. Dia memang mencintai Sorai sejak lama.
"Jangan kasih tahu Sorai soal ini."
"Kenapa?"
"Waktunya belum pas. Gue gak mau dia malah menjauh."
Mentari mengerti. "Gue jaga rahasia lo."
"Yauda gih sana susul Sorai. Gue gak yakin Galen bisa jagain Sorai."
Saat ini, nasib Brian dan Mentari sama. Sama-sama jatuh cinta pada orang yang mencintai orang lain. Lebih simple-nya, cinta mereka bertepuk sebelah tangan.
Di UKS, Galen mengobati Sorai dengan hati-hati. Setelah meneteskan obat merah, Galen langsung membalut lukanya dengan perban.
"Udah selesai."
"Sekali lagi makasih ya, Gal. Gue gak nyangka lo bakal sebaik ini. Gue pikir lo bakal beneran bakalan pertunjukan kita. Lo harus tahu, Gal. Mungkin pertunjukan kali ini gak berarti apa-apa buat lo. Tapi bagi gue. Ini adalah salah satu hal yang paling gue tunggu. Selain gue bisa deket sama lo. Gue juga bisa kasih tunjuk sama orang-orang tentang kemampuan gue. Udah lama gue pengen jadi penyanyi. Mungkin ini bisa jadi langkah awal gue buat menuju ke sana."
"Apa alasan lo mau jadi penyanyi?"
"Random aja sih. Gue suka bikin lagu. Gue suka dengerin musik. Yang paling penting, gue pengen orang lain juga bahagia lewat lagu yang gue nyanyiin nanti. Musik tuh ngasih kita kebahagiaan tahu. Cita-cita lo sendiri apa?"
"Apapun yang gak bikin orang tua gue repot."
"Mana ada orang tua yang repot kalo lihat anaknya bahagia dan sukses. Semua orang tua pasti akan melakukan yang terbaik supaya anak-anaknya bahagia. Mereka pasti bakal dukung apapun cita-cita lo."
"Itu orang tua lo. Bukan orang tua gue. Gak usah banyak tanya dan sok akrab."
"Sorry kalo kata-kata gue bikin lo gak nyaman."
"Kaki lo Udah mendingan, kan?"
Sorai mengangguk. "Yauda ayo. Kita harus tampil sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Kita Cerita Tentang Luka
Teen FictionSebuah kisah yang rumit. Antara aku, kamu dan luka kita. ________________ Dipubliksaikan pada tanggal : 27 Februari 2021