🌸 Rumit

17 1 4
                                    

"Thanks ya, Gal. Lo udah mau antar gue sampe sini. Tadi gue panik banget, jadi langsung berhentiin lo. Soalnya gue nggak tahu harus minta bantuan ke siapa lagi. Biasanya kalo ada apa-apa gue langsung bilang ke Brian, tapi akhir-akhir ini dia susah dihubungin."

Galen mengangguk. "Sama-sama."

"Lo sekarang mau ke mana? Kalo misalkan mau pergi sekarang gak apa-apa Gal. Biar gue jagain mama sendiri. Lagian motor yang lo pake bukan punya lo, kan? Itu motor Banyu."

"Sebenernya tadi gue buru-buru karena ada urusan. Sekarang udah telat."

"Duh, maaf banget kalo gitu. Urusan penting ya, Gal. Terus gimana? Beneran gak apa-apa?"

Galen menunduk, namun tetap terlihat baik-baik saja. Dia tak ingin menceritakan apa-apa pada Sorai.  "It's oke. Gak penting juga."

"Yakin?"

"Kalo lo gak percaya, gue gak peduli sih."

Sorai kembali diam. Suasana kantin rumah sakit cukup sepi saat ini. Galen menyodorkan minuman yang telah mereka pesan. "Minum dulu, gue tahu lo haus."

"Makasih."

"Rai, lo masih suka sama gue?"

Sorai tak bisa berbohong. Dia hanya mengangguk pelan. "Iya. Kenapa, Gal? Lo masih keberatan, ya? By the way, lo udah tanya ini dua kali."

Galen tak menjawab.

"Seandainya gue bisa langsung hapus perasaan ini, pasti udah gue hapus dari dulu. Tapi susah, Gal. Jadi gue cuma mau minta sama lo untuk biarin aja perasaan ini ada sampai nanti gue capek sendiri, sampai hilang sendiri."

"Kalo seandainya sekarang gue bilang mau kasih lo kesempatan, reaksi lo bakal gimana?"

"Gue nggak tahu. Gue takut, Gal."

"Takut kenapa?"

"Gue takut kalo kesempatan yang lo kasih cuma karena belas kasihan. Gue tahu lo bukan orang yang mudah menjatuhkan hati. Kalo gue usaha lagi, gue takut gagal."

"Kalo sekarang gue yang usaha buat yakinin lo lagi gimana?"

Sorai menatap mata Galen intens, tangan cowok itu meraih tangannya perlahan. Mata Sorai berkedip dua kali, meyakinkan dirinya bahwa ini bukan mimpi.

Galen meraih bunga pink pada vas yang ada di meja tempat mereka duduk. Meletakannya di hadapan Sorai lalu tersenyum tulus. "Gue nggak tahu ini waktu yang tepat atau bukan. Saat ini gue lagi banyak masalah, Rai. Tapi setiap gue inget wajah lo, gue selalu bisa senyum. Selama ini gue tutupin perasaan aneh itu, gue nggak mau lo kena imbas dari masalah gue. Sampai waktu tadi gue lihat lo nangis di tepi jalan, gue nggak bisa bohongin perasaan gue lagi, gue pengen jagain lo, Rai."

"Gue beneran gak mimpi, kan, Gal?"

Galen menggeleng. "Lo mau gak Rai, jadi tempat gue bersandar kalo gue lagi rapuh."

Di moment itu perasaan Sorai sangat bingung. Bukankah harusnya dia senang? Tapi kenapa seperti ada yang aneh. Wajah Brian tiba-tiba muncul dalam benaknya.

Benarkah yang  Sorai cinta adalah Galen? Atau dia selama ini salah mengerti perasaannya sendiri?

Saat Brian menjauh darinya, Sorai benar-benar kehilangan. Meski tak ia perlihatkan, tapi tak bisa dipungkiri bahwa dalam hatinya dia mencari Brian.

"Gal, gue nggak tahu harus jawab apa. Semuanya kayak telalu tiba-tiba buat gue."

Ada raut kecewa pada wajah Galen. Dia sudah memberanikan diri mengungkapkan apa yang dia rasakan. Tapi hasilnya di luar ekspetasi. "Gak apa-apa, mungkin karena lo masih kepikiran mama lo."

Suasana kembali canggung, Galen melepaskan genggaman tangannya.

"Makasih bunganya," ucap Sorai seraya tersenyum manis. Bunga pink itu cantik.

Galen mengangguk. "Katanya bunga itu simbol cinta, katanya juga bunga itu bisa meluluhkan perasaan. Tapi kayaknya, itu nggak berlaku ya buat lo."

"Bukan nggak berlaku, gue cuma butuh waktu. Lagian bukannya yang tadi gue jawab bukan sebuah penolakan, ya?"

"Gue takut kalo sebenarnya lo udah jatuh cinta sama orang lain, Rai."

"Siapa?"

"Tanpa gue jawab, lo pasti udah tahu jawabannya."

🌸🌸🌸

Mentari turun dari motor Brian, cewek itu mengucapkan terima kasih karena pada akhirnya Brian mengantar dia pulang.

Niat mereka yang awalnya pergi ke rumah sakit tiba-tiba Brian batalkan. Dia hanya belum mau melihat kedekatan Galen dan Sorai.

Akhir-akhir ini cowok itu sering memperhatikan Galen. Dia tahu bahwa Galen mulai menyukai sorai. Semuanya semakin rumit. Kesempatan untuknya semakin sempit.

"Gue masuk ya, Bri."

Brian mengangguk.

"Oh iya, tadi gue dapet kabar dari Sorai kalo mamanya cuma luka ringan aja. Udah bisa langsung pulang besok pagi."

"Syukurlah kalo Tante Kanaya baik-baik aja. Gue seneng dengernya."

"Lo hati-hati pulangnya, jangan ngebut. Dan yah, sebaiknya lo hubungin Sorai, dia nyariin lo."

"Bukannya Sorai udah nggak butuh gue?"

"Bri, Sorai akan selalu butuh lo. Percaya sama gue." Mentari meyakinkan.

Brian kembali menyalakan mesin motor. "Gue balik, Tar."

Dengan perasaan yang semrawut, Brian pulang. Dia berharap di rumah tak ada Bang Pras, jika ada abangnya itu pasti akan meledeknya terus menerus. Sulit bagi Brian menyembunyikan emosinya. Apalagi saat dirinya tengah kecewa seperti sekarang. Brian akan sangat uring-uringan.

Mentari juga masuk rumah dengan perasaan yang mengambang. Perjalanannya dengan Brian sore ini kembali membuatnya jatuh lebih dalam pada pesona Brian.

Mentari juga takut dia tak bisa mengontrol diri. Perasaan cinta yang begitu besar Brian pada Sorai membuatnya cemburu.

Dia jadi kesal pada Sorai, sahabatnya itu telah menyia-nyiakan seseorang yang begitu memesona hanya demi Galen yang selalu membuat kecewa.

_______
Next?

🎶Playlist song - Afgan (Kunci Hati)

Mari Kita Cerita Tentang Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang