Apa yang dia inginkan dariku? Kepergian diriku? Atau keberadaan diriku di sampingmu? Perilakumu, seolah-olah melepaskan aku. Namun, adakalanya kau meyakinkan diriku. Bahwa kau, amat mencintai diriku.
@Clara
•|•
Kepergian Clara nyatanya tak menyelesaikan masalah. Rangga tetaplah Rangga, dengan segala kebencian dan amarahnya. Entah kejadian apa yang membuat Rangga menjadi sosok pemarah.
"Apa yang lo mau?" tanya Rangga sarkas.
Arya memandang Rangga dengan senyum smirk-nya. "Apa yang gue mau? Lo nanya apa yang gue mau?!" Arya menarik kerah seragam Rangga dengan kuat. "Gue mau lo jauhin Clara!" seru Arya seraya mendorong Rangga hingga hampir terjatuh.
"Berengsek!" maki Rangga menatap kepergian Arya.
Entah apa yang membuat Rangga marah. Tak seharusnya dia marah. Apa karena cemburu? Apa yang perlu dicemburui. Bukankah tak ada sedikit pun rasa cinta terhadap Clara. Terkadang, yang rumit itu tak selamanya perempuan. Ada yang lebih rumit dari itu. Yaitu, Rangga dengan segala perasaannya.
Duduk di bawah rindangnya pohon adalah suatu hal yang membuatnya tenang. Sendiri, menikmati semilir angin. Kesendirian tak selamanya menyeramkan. Menatap langit yang setiap waktunya menyimpan banyak rahasia. Itu yang sedang Clara lakukan.
Pikirannya, sedang berkecamuk. Kenapa Rangga begitu marah? Sedangkan Clara, dia hanya tersenyum. Saat melihat Rangga bermesraan dengan wanita lain. Lamunannya buyar seketika, saat Rangga datang dengan gurat amarah di wajahnya
"Apa yang lo rencanain, hah? Bisa-bisanya lo jalan berdua sama si berengsek itu!"
"Aww! Lepasin kak. Tangan aku sakit," pekik Clara, saat dengan kuat Rangga mencekal pergelangan tangannya.
"Jawab gue! Atau gue dengan senang hati menyiksa lo, lebih dari ini."
Bukankah itu yang memang kau inginkan? Menyiksa diriku tanpa ampun.
"Ta-tadi aku nggak sengaja ketemu."
"Alasan! Lo emang mau bales dendam, 'kan? Dasar wanita murahan!"
Clara tak terima dengan pernyataan Rangga. Kali ini, dia harus memberanikan diri untuk melawan. Walaupun, dia tau konsekuensi yang akan dia terima. "Kenapa Kakak marah? Apa hak Kakak buat larang aku? Apa? Bukannya aku, nggak pernah Kakak anggap?! Bukannya aku hanya manusia di kehidupan Kakak?!" Bersamaan dengan air matanya yang luruh begitu saja.
Plak!
Satu tamparan mendarat dengan sempurna di pipi kiri Clara. "Maksud Lo apa?!"
"Kakak tanya apa maksud aku? Oh, apa kakak cemburu?" jawab Clara seraya menatap Rangga.
Plak!
Tamparan kembali mendarat di pipi Clara. "Ini hukuman buat lo, yang udah beraninya bentak gue."
"Tampar aku kak! Tampar lagi, ayo! Atau enggak sekalian aja bunuh aku!" Bahunya bergetar. Menandakan dia sedang menahan tangis yang hebat. "Kenapa waktu itu kakak memberikan janji manis? Kenapa kakak bertahan sejauh ini? Kenapa kakak nggak mutusin aku aja? Kenapa harus siksa aku?" lirihnya.
Rangga terhenyak. Apa yang telah di perbuatnya lagi kali ini. Sampai gadis di depannya ini menangis dan menahan sakit. "Jangan bahas itu. Sekarang lo ikut gue!"
Sakit di pipi dan tangannya tak sebanding dengan sakit di lubuk hatinya. Atas perlakuan Rangga kali ini, Clara pasrah. Entah hukuman apalagi yang akan Clara terima. Haruskah mencintai seseorang sesakit itu? Haruskah fisik menjadi bahan pelampiasan akan amarah dalam cinta? Sudah cukup hatinya tertusuk belati. Masih belum cukupkah penderitaan dirinya akan cinta?
Kehidupan tak segalanya tentang cinta. Tapi, mengapa? Seakan cintalah kebahagiaan banyak orang di luar sana. Tapi kenapa? Kenapa cinta Clara sungguh menyakitkan.
"Duduk!" perintah Rangga saat mereka sampai di UKS. Clara menurut. Dia tak mau memperparah keadaannya. Entah apa yang ingin Rangga lakukan.
Rangga duduk di depannya. Meneteskan alkohol ke atas kapas. Kemudian mengikis jarak antara keduanya. Mata Clara terpejam. Saat kapas itu bersentuhan dengan pipinya. Merasakan dingin dan lembutnya sentuhan tangan Rangga. Apa? Sentuhan tangan Rangga?! Clara membuka matanya dengan cepat. Hingga akhirnya, keduanya saling bertatapan.
1 detik
2 detik
3 detik
4 detik
Rangga menoleh, memutuskan tatapan mata itu. "Aww!" Clara meringis, saat dengan sengaja Rangga menekan pipinya.
"Ngapain lo natap gue hah?!"
"Ma--maaf, kak." Clara menunduk, merasakan degub jantungnya yang berdetak kencang.
"Apa masih sakit?" tanya Rangga lembut.
"E-ehh, enggak kak. Udah baikan, makasih," jawabnya.
Dengan sengaja, Rangga kembali mencekal pergelangan tangan Clara. Hingga membuat si empu menjerit kesakitan. "Pembohong." Rangga mengelus lembut tangan Clara. Menyalurkan kebencian, yang sepertinya, akan berubah menjadi ... entahlah.
"Jangan salah mengartikan perilaku gue. Gue marah ke lo itu hanya jaga image gue sebagai cowok lo. Dan gue ngobatin lo, itu karena lo luka gara-gara gue," ujar Rangga seraya melepaskan tangan Clara, dan pergi begitu saja.
Sudah Clara duga, ini hanya karena pencitraan semata. Namun, apa pun itu. Clara yakin, bahwa sebenarnya ada campuran tangan cinta di dalamnya. Bahagia Clara sederhana. Dengan apa yang dia terima hari ini. Itu cukup membuat dia gila. Dan lupa, akan kata-kata pedas yang keluar dari mulut Rangga. Atau bahkan, dia lupa dengan segala belati yang telah Rangga tusukan ke dalam hatinya.
•|•
Bel pulang telah berbunyi sekitar 10 menit yang lalu. Hanya tinggal siswa yang mengikuti kegiatan tambahan saja yang berada di sekolah. Clara tak ada di sana. Dia tak mengikuti kegiatan tambahan apa pun, pekerjaannya lebih penting. Namun, hari ini dia cuti. Bukan apa, pandemi begitu marak di ibu kota. Semoga saja cuti ini tak berlangsung lama.
"Assalamualaikum, Nek. Clara pulang!" teriaknya dengan gembira.
"Waalaikumsalam. Kebiasaan! Ini bukan hutan, Clara!" Yang dinasehati hanya cengengesan tak jelas. "Setelah mandi, duduk di sini. Kita makan bersama."
"Baik, Nek." Clara langsung melesat ke lantai dua. Rumahnya sederhana, tak mewah. Dan tidak juga lusuh. Rumah berlantai dua ini menjadi saksi bisu akan pertumbuhan Clara.
Seperti yang dikatakan Nenek. Akhirnya mereka makan bersama. Hanya dentingan sendok yang terdengar. Hingga akhirnya, Nenek membuka suara. "Cla, apa kamu baik-baik saja?" tanya Nenek yang heran dengan kelakuan cucu satu-satunya ini. Sedari tadi, Clara senyam-senyum sendiri.
"Baik kok, Nek. Bahkan sangattttt baik," jawabnya dengan semangat.
"Ada apa? Coba cerita, Nenek mau denger."
Dengan semangat yang menggebu-gebu. Clara menceritakan kejadian yang dia lalui hari ini. Nenek sudah tau hubungannya dengan Rangga, hubungan yang diselimuti kekerasan. Tak aneh jika Nenek menemukan memar di tubuh Clara. Pernah waktu itu, Nenek sampai marah pada Clara. Waktu itu, kepala Clara berdarah karena Rangga yang mendorongnya ke dinding. Beruntungnya tak terjadi hal yang lebih buruk lagi.
"Sampai Nenek liat kamu dekat lagi dengan laki-laki itu. Jangan harap kamu bisa tidur lagi di rumah ini." Clara tetaplah Clara. Dengan sifat keras kepalanya. Dan sepertinya, Nenek pun tak tega sampai melakukan itu pada cucu semata wayangnya.
****
Isss, Clara ... kalau mimin yang jadi kamu. Udah mimin tampar balek tuh si Rangga. Tambah sekalian mimin kebiri dia biar tahu rasa, wkwkwkwk. #Jangan_dicontoh_nggak_baik!
Gimana nih kalau kalian punya cowok seperti Rangga? Kasih tahu mimin, ya. Sekalian sini yuk kita curhat bareng, wkwkwkw.
Jangan lupa juga buat dukung karya ini dengan bagiin ke temen-temen kalian😊. Karena mimin juga manusia, kalau ada typo kasih tahu, ya😄. Kami juga menerima kritik dan saran dari kalian😊
Hope you enjoy it❤❤❤
See you next time!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Terakhir
Teen FictionBerawal dari sebuah cerita. Yang mulai bercampur dengan kisah yang semu. Bercerita dalam setiap upayanya. Namun, sulit menebak setiap rencana. Sebuah ikatan cinta, entah itu pacaran, komitmen, atau sebuah ikatan yang sudah pasti, sepasang suami istr...