"Keluarganya Rangga?" panggil sang Dokter, Clara pun bangun, dan segera menanyakan bagaimana jelasnya, keadaan Rangga saat ini.
"Bagaimana keadaan Kak Rangga, Dok?" tanya Clara, sedikit ragu.
"Harapan untuk Rangga hidup sangat kecil. Peluru yang ditembakkan berhasil terkena jantung nya," jelas sang Dokter.
"Apa boleh kita masuk?" tanya Agam.
"Silahkan, tapi hanya boleh beberapa saja dan jangan lama. Kalau begitu, saya pamit dulu." Pamit sang Dokter.
"Baik Dok, terimakasih," jawab mereka. Clara pun langsung berlari menuju ruangan Rangga. Nampak jelas, seseorang yang dia cintai kini terbaring lemah. Berbagai alat medis terpasang sempurna di tubuh kekarnya. Tubuh ternyaman untuk melepas segala kerinduan. "Ka, cape ya? Makanya matanya merem terus?" lirih Clara.
Raina menepuk pelan bahu Clara. Memberi kekuatan, agar tak menangis lagi. Sudah berjam-jam, Clara tak bisa menahan tangisnya. "Pasti bangun kok."
"Gimana bokap sama nyokap nya?" tanya Gabriel. "Mereka diperjalanan. Tadi gue udah hubungin mereka, dan mereka langsung pergi ke bandara," jawab Agam.
Clara kembali melirik Rangga. Digenggam tangannya erat, menyalurkan kekuatan dan kerinduan atas segala-galanya. "Gak rindu? Dari tadi tidur terus. Aku rindu nih, masa Kak Rangga enggak? Bohong tuh, kalo gak rindu." Andai jika Rangga sadar, dia pasti jawab, "iya Cla, aku rindu."
"Cla, mending Lo makan dulu. Dari tadi Lo belum makan kan? Jangan sakitin diri Lo juga, nanti kalo Rangga bangun, terus tau Lo belum makan, dia pasti marah besar," ucap Agam mengingatkan Clara. Dia hanya tak mau Clara juga ikut sakit. Setelah tadi dia berbicara di ruang Dokter, dia ragu akan adanya keajaiban.
Clara mencerna perintah dari Agam. Benar juga, pikirnya. "yaudah, kalo ada apa-apa langsung telepon yah. Pokonya langsung! Apapun itu!" ujar Clara, seraya keluar bersama Raina. Nenek dan orangtua Clara, memutuskan untuk pulang terlebih dahulu.
"Ga, gak mau bangun? Ini ulang tahun Clara loh?" Sekarang bagian Rafi yang berbicara dengan Rangga. Meski tak ada jawaban, Rafi terus mengobrol dan mempertanyakan pertanyaan yang tak begitu penting dan masuk akal. "Bangun yuk, Ga! Kantin rumah sakit, Lo yang bayarin," Ajaknya. Gabriel menggenggam tangan Rangga. Karena dia rasa ada tangannya bergerak. Dan betul, tangan Rangga bergerak. "Panggil Dokter sekarang!" teriak Gabriel panik. Agam pun langsung memanggil Dokter, begitupun dengan Rafi, dia langsung menghubungi Clara.
Clara datang dengan tergesa-gesa. Setelah mendapat kabar dari Rafi, bahwa Rangga telah sadarkan diri, raut mukanya seketika terlihat lebih baik dari tadi. Ada keyakinan dan harapan serta janji yang begitu luar biasa pada diri Clara. Dia berjanji, dia akan selalu melindungi Rangga apapun itu. "Ka," panggil Clara. Yang dipanggil hanya menjawab dengan senyumannya.
Tak bisa menahannya kembali, air mata Clara kembali membasahi pipinya. "Aku kangen," ujarnya pelan, namun masih bisa terdengar. Rangga hanya kembali tersenyum. "Mana yang sakit?" tanya Clara. Rangga hanya menggeleng, tanpa menghapus senyumannya. "Senyum terus, kenapa? Aku jelek ya kalo nangis terus?" Lagi, dan lagi, Rangga hanya menggeleng sambil tersenyum.
Untuk beberapa saat, terjadi keheningan diantara mereka. Sampai akhirnya, Rangga membuka suara. "Cla," panggilnya. Yang dipanggil langsung menatapnya lekat. Rangga menatap Agam. Yang ditatap pun mengerti, Agam memberikan sebuah kotak berwarna biru, yang berukuran sedang. Rangga menatap lekat Clara. "Se--selamat ulang ta--tahun sayang," ujar Rangga pelan. "Apa ini?" tanya Clara. Ketika ingin membuka kotak tersebut, tangan Clara digenggam erat oleh Rangga. "Ja-jangan na-nangis la-lagi," ucap Rangga seraya tersenyum, dan perlahan matanya terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Terakhir
Teen FictionBerawal dari sebuah cerita. Yang mulai bercampur dengan kisah yang semu. Bercerita dalam setiap upayanya. Namun, sulit menebak setiap rencana. Sebuah ikatan cinta, entah itu pacaran, komitmen, atau sebuah ikatan yang sudah pasti, sepasang suami istr...