Aku akui, aku bodoh dalam berpikir. Tapi, apakah aku salah jika mengutamakan perasaan?
@Clara
•|•
"Sialan! Kenapa mereka pakai bodyguard segala?" tanya seseorang di seberang sana."Sepertinya, mereka sudah tahu bos. Melihat gelagat teman-teman Rangga sepertinya, mereka sudah tahu rencana kita."
"Nggak becus! Sekarang juga, kalian balik ke markas! Kita atur ulang! Jangan sampai dia berhasil bahagia!" sarkas seseorang yang diketahui bos dari orang-orang yang mengikuti Rangga tadi.
"Baik bos."
Malam ini, bulan kembali tak tampak, kembali tak menemani bintang. Tapi rasanya, ada penerang yang lebih dari bulan bagi Clara, yaitu Rangga. Di bawah kerlap-kerlipnya lampu jalanan, mereka tertawa lepas. Tidak memikirkan bahaya yang mungkin saja datang tanpa diminta.
"Lihat deh, di bawah pohon itu seperti ada bayangan gitu," ujar Clara menunjuk ke arah pohon rindang di pinggir jalan.
"Iya, bayangan masa lalu kita."
Clara terdiam sejenak. Mendengar jawaban sang laki-laki yang di sampingnya. "Kok?"
"Iya, masa lalu kita. Gelap, hanya ada cahaya penerang yang tak dianggap kehadirannya. Kayak cinta lo ke gue waktu itu. Ada, tapi tak dianggap," jawab sang empu.
Keduanya terdiam. Mencerna kalimat yang terlontar. Sda benarnya, tapi itu dulu. "Benarkah itu dulu?"
Rangga menatap Clara lekat. Ada kehangatan yang menjalar di antara keduanya. "Clar, dengerin gue! Kali ini percaya sama gue, apa pun nantinya yang terjadi gue nggak bakal tinggalin lo lagi. Please, percaya sama gue."
Clara menggenggam erat tangan Rangga. "Iya, Rangga. Aku percaya," jawabnya yakin dengan keputusannya kali ini.
Embusan angin malam, terasa semakin dingin, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Rangga pun tak mau ambil risiko jika nantinya, Nenek Clara memarahinya karena membawa pulang Clara larut malam. Kembali membelah jalanan ibukota, berdua, dan dengan segenap cerita malam yang mereka lalui.
"Langsung tidur. Kalau mau ke mana-mana jangan sendiri!"
"Iya Rangga, kamu udah bilang itu yang kesekian kalinya loh. Nggak bosen?"
"Gue pulang dulu. Lo langgar apa yang udah gue bilang, lo harus terima risikonya!" ujar Rangga penuh penekanan.
Rangga menunggu Clara benar-benar masuk. Memastikan dia sampai dengan selamat tanpa ada yang cedera. Dia harus cepat-cepat ke rumah temannya, untuk mencari lebih tahu tentang orang-orang tersebut.
****
"Eh bentar lagi ulang tahun Clara, pasti tuh orang muncul, dengan segala rencana jahatnya," ujar Agam.
Rafi menjawab. "Benar tuh. Gue yakin banget, dia nggak hanya punya satu rencana. Gue yakin, dia kayak gini karena hartanya."
"Tapi gue pikir, bukan karena harta. Tapi, cinta." Kali ini Gabriel ada benarnya, bukan hanya karena harta, tapi bisa jadi karena cinta.
Rangga terdiam, kala mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Gabriel. Ia jadi teringat satu peristiwa. Di mana saat itu, ia harus memilih antara yang terbaik untuk dirinya sendiri. Namun, setelah memilih yang terbaik untuknya, ia malah menyia-nyiakan semuanya. Apa itu yang disebut terbaik?
Agam yang netranya melihat Rangga melamun pun langsung menepuk bahu Rangga, agar si empu sadar dan tidak melamun lagi. Namun sayang, baru saja Agam akan melakukan langkahnya, Rangga sudah lebih dulu bangun dan berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Terakhir
Teen FictionBerawal dari sebuah cerita. Yang mulai bercampur dengan kisah yang semu. Bercerita dalam setiap upayanya. Namun, sulit menebak setiap rencana. Sebuah ikatan cinta, entah itu pacaran, komitmen, atau sebuah ikatan yang sudah pasti, sepasang suami istr...