X: Tiga Prinsip Thurston

248 49 190
                                    

Sebelum mulai melangkah lebih jauh, kurasa ada hal yang harus dipelajari terlebih dahulu. Persis seperti meletakkan batu pertama. Batu tersebut adalah prinsip dasar yang menjadikan sebuah sulap menjadi sulap yang semua orang kenal. 

Salah satu yang menjadi acuan dasar sulap adalah Prinsip Thurston. Perlu didengar atau dibaca baik-baik, dan sebaiknya, catatlah di pikiranmu supaya kamu ingat untuk menerapkannya saat memepertunjukkan sulap ke hadapan banyak orang.

Mengenal siapa pencetus prinsip tersebut, orang itu adalah Howard Thurston merupakan pesulap yang populer di awal abad ke-20. Kurasa, setiap pesulap pasti tahu siapa dia, seperti halnya mengetahui siapa Harry Houdini. Thurston-lah orang yang mencetuskan tiga prinsip Thurston, yaitu tiga poin berisi hal tabu—tak boleh dilakukan—dalam sulap.

1. Pesulap tak boleh mengungkapkan triknya, itu tak perlu diminta.

2. Tidak boleh menjelaskan apa yang akan terjadi menjelang pertunjukan sulap, karena keterkejutan penonton akan berkurang.

3. Jangan mengulangi sulap yang sama untuk kedua kalinya. Jika hanya dilakukan sekali, akan timbul kesan mendalam yang tertinggal di hati penonton sebagai sulap terbaik. Tapi, kalau dilakukan dua kali berturut-turut, penonton tak akan menikmatinya dan sibuk mencari tahu triknya, membuat risiko trik terbongkar pun akan jadi besar.

Namun, larangan tersebut tentunya boleh dilanggar. Bila seorang pesulap melanggar larangan itu dan tetap berhasil mempertahankan triknya, ia adalah orang yang pantas disebut sebagai pesulap terhebat yang pernah ada.

Dan, aku menemukan satu pesulap yang berhasil mempertahankan triknya sekalipun sudah melanggar tiga hal tabu ini.

Jangan tanya aku namanya. Nama memang mengandung keajaiban, termasuk namanya, tetapi aku tak pernah memanggilnya dengan nama. Bahkan ketika membicarakannya dengan Lei, kakakku, aku tak pernah menyebutkan nama pesulap itu sedikit pun.

Tuan Pesulap, begitu caraku memanggilnya—juga sebutan yang kugunakan setiap membicarakannya. Itu semua karena, bagiku, hanya dialah orang yang pantas disebut pesulap.

Semuanya berawal ketika aku duduk di kafetaria sekolah. Jam makan siang. Teman sekelasku—yang juga duduk satu meja denganku di kafetaria—dengan heboh menceritakan tentang apa yang dialami tetangganya.

Cerita yang menjadi teman terbaikku di waktu makan siang.

***

Seorang anak bertubuh gempal berdiri di atas kursi, membuat sang pesulap muda di atas panggung terpaksa menaruh perhatian penuh padanya. Sorot lampu pun membelah, terfokuskan pada dua titik—si anak dan sang pesulap itu sendiri.

Wanita—yang sepertinya adalah ibu si anak—berusaha menahan putranya supaya kembali duduk. Siapa pun tahu ia tengah menanggung malu karena kelakuan putranya.

Sementara itu, pembawa acara baru akan memerintah para petugas keamanan untuk menyuruh anak tersebut duduk—atau sekalian mengeluarkannya dari aula bila tak mau menurut. Tapi, sang pesulap memberi isyarat pada pembawa acara untuk menahan gerakannya. Mata pria di balik topi tinggi itu terlihat sangat yakin, sehingga pembawa acara hanya bisa melangkah mundur perlahan, bersembunyi di balik bayang-bayang tirai, seperti yang biasa dilakukannya selama pertunjukan.

"Aku sudah tahu bagaimana kamu melakukan trik itu!" Anak tersebut berbicara dengan mulut yang tertahan pipi tembamnya, membuatnya terdengar seperti sedang berkumur. Akan tetapi, cara berbicara yang tegas dan to the point bisa membuat siapa pun merasa apa yang dibicarakannya adalah kenyataan. Tangannya terangkat, menunjuk wajah pesulap di panggung.

Pria muda yang ditunjuk tak menunjukkan sedikit pun perubahan ekspresi. Tak ada tanda-tanda keterkejutan. Senyum tipis masih terlihat di bibirnya. "Maukah kamu maju kemari dan menjelaskan pendapatmu, Nak?"

Lawan bicaranya tersenyum lebar, menunjukkan gigi yang berderet. Ia turun dari kursi dan melangkah dengan gagah menaiki panggung sambil menggosok pipinya menggunakan punggung tangan. Cahaya lampu sorot terus mengikutinya hingga akhirnya bertemu dengan cahaya satunya dari pria yang dibalut pakaian serba putih di panggung.

Entah karena orang-orang tahu menghentikan pun tiada guna atau karena ini tawaran dari sang pesulap sendiri, para penonton yang lain tak bergerak satu inci pun dari posisi masing-masing.

Di atas panggung, anak tersebut berdiri menghadap pesulap. Tinggi tubuh mereka terlihat begitu jauh, tetapi hal itu tak menyurutkan nyali kedua belah pihak.

"Kamu pasti menggunakan mesin yang terhubung ke belakang tirai ini untuk mengangkat peti tadi!" Anak lelaki tersebut menunjuk tirai merah yang membatasi bagian depan dan belakang panggung.

Sang pesulap menepuk tangannya beberapa kali. Napas semua penonton tertahan seketika. Apa tepuk tangan tersebut mengartikan perkataan barusan benar?

"Kuucapkan selamat untuk keberanianmu, Nak, tapi maafkan aku. Perkataanmu tak benar."

"Maka langgarlah prinsip Thurston nomor tiga. Ulangi trikmu. Buktikan."

Sang pesulap tertawa kecil. "Tentu." Ia berlutut supaya tingginya sama dengan anak di depannya. Tangan kanannya mengacungkan jari telunjuk ke udara. "Supaya lebih menegangkan, bagaimana kalau kulanggar seluruh prinsip Thurston?"

Anak bertubuh gempal itu mengangguk sambil menyeringai. Ini adalah kesempatan yang bagus. Melihat sang pesulap sudah kembali berdiri tegak, ia langsung melihat sekeliling, mencari barang berat apa yang akan diangkat oleh sang pesulap. Namun, tak ada benda yang dibawa ke atas panggung. Ia mendongak pada pria di depannya.

Sang pesulap membalikkan badan dan menghadap ke arah para penontonnya. "Saat ini, aku akan melanggar ketiga larangan utama dalam ilmu sulap. Aku bersumpah demi nama Tuhan-ku dan Tuhan Anda sekalian bahwa tak ada kebohongan dalam perkataan ataupun perbuatanku. Jadilah saksiku."

Suaranya yang menggema membuat orang-orang terdiam. Beberapa menegakkan tubuh karena rasa antusias.

"Untuk melanggar aturan nomor dua, akan kuberitahu apa yang terjadi dalam trikku selanjutnya. Aku akan mengangkat anak ini tanpa menyentuhnya. Itu berarti aku juga melanggar aturan nomor tiga, karena telah mengulangi sulap yang sama dua kali berturut-turut." Pesulap tersebut membuka telapak tangan kanannya ke arah anak di sebelahnya, seakan tengah memperkenalkan seorang kawan. "Dan, untuk aturan nomor satu, trikku adalah sihir yang sesungguhnya."

Semua orang di aula tersebut sudah diberitahu bahwa tak ada kebohongan. Pria yang memakai topi tinggi putih itu bahkan telah bersumpah. Namun, bagian sihir yang sesungguhnya membuat para penonton bertanya-tanya.

Sang pesulap mengangkat tangan kanannya setinggi dada, menoleh ke arah anak yang mengernyitkan dahi saat melihatnya. Tangannya diangkat perlahan, dan anak tersebut pun ikut terangkat dari lantai papan di panggung. Semakin tinggi tangannya terangkat, semakin jauh pula jarak si anak—yang berteriak sambil meronta panik—dengan lantai.

"Sudah kubilang, Nak. Aku pesulap sungguhan." Pria muda tersebut tersenyum lemah.

Tangan sang pesulap bergerak ke arah para penonton, membuat si anak berpindah ke atas kursi penonton yang terisi. Ia memutar tangannya perlahan demi mendapat posisi duduk yang tepat untuk si anak—yang akhirnya diletakkan pada kursi kosong. Kursi yang sama dengan kursi yang dijadikan tempat berdiri sebelumnya.

Anak lelaki itu tak lagi bisa berkata apa pun. Napasnya memburu. Matanya membelalak, memandang kosong, seakan tak memercayai apa yang baru saja terjadi padanya.

Para penonton pun tak ada yang berani berbicara. Sang pesulap menunduk hormat, menutup pertunjukannya. 


-----------

To be continued... 

----------

Mungkin ada yang familier dengan ide cerita dari End of The Magic ini. Asal mulanya, ide ini memang diambil dari cerita yang dibuat Axel, karakter saya di Interim (karya saya yang lain).

Ide cerita ini diubah sedikit (termasuk judulnya) dan diwujudkan untuk keperluan lomba. Tapi, karena enggak menang lombanya, di-publish di sini. Terima kasih sudah mampir. ^^

End of The MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang