Rumah yang terkesan tua. Dari luar, sepertinya ia adalah rumah satu tingkat yang luas. Kurasa, rumah ini cukup lebar—entahlah dengan sisi satunya, bisa jadi sama panjang dengan tampak depannya.
Dinding luar didominasi warna cokelat terang. Beberapa bagian catnya sudah mengelupas. Atap tanah liat yang seharusnya berwarna merah tua telah berubah warna menjadi cokelat. Mungkin karena debu. Mungkin juga karena warnanya terhapus oleh waktu.
Di depan rumah, terlihat sebuah kebun, yang ditumbuhi rumput. Tumbuh merata, seakan hampir setiap hari ditata. Beberapa pot berisi bunga mawar merah dan putih terlihat di salah satu sudut kebun.
Pagarnya terbuat dari kayu, setinggi siku bila aku berdiri. Terlihat lapuk, dan berlubang di beberapa titik. Mungkin rayap memakannya.
Keseluruhan tampak luarnya mengingatkanku pada rumah Nenek di pinggiran kota. Tua, tapi kokoh.
Aku berjalan mendekati Tuan Pesulap yang tengah membuka gembok pagar. Tepat saat ia sampai di sebelahnya, pagar rumah telah berhasil terbuka. Tuan Pesulap memberi isyarat untuk mengikutinya.
Nuansa bagian dalam rumah begitu selaras dengan bagian luarnya. Warna cokelat susu mendominasi ruang tamu yang menyambutku begitu aku memasuki rumah. Kurasa, karena warna tersebut, sebuah topeng berwarna putih yang dipajang di dinding terlihat mencolok.
Pada bagian pipi kanan topeng, sebuah ukiran yang saling berwarna emas dan perak terlihat saling meliliti satu sama lain. Bibir topeng tersebut terlihat seakan tersenyum tipis. Tapi, ketika kupandangi lebih jeli, senyum itu seakan menghilang.
"Topeng apa itu?" tanyaku pelan, tapi suaraku tetap menggema di ruangan.
Tuan Pesulap berhenti melangkah, dan melihat ke arah topeng. "Kenang-kenangan. Sosok itu sudah menghilang, kurasa."
"Menghilang?"
"Begitulah." Ia melanjutkan berjalan. Aku bergegas mengikutinya, sambil mendengarkan penjelasannya. "Ia menemaniku sebelum ini. Sudah lama aku tak menggunakannya. Belakangan ini, aku hanya menggunakannya sekali saja. Hanya saat comeback, untuk memastikan mereka semua ingat."
"Anda pernah berhenti dari sulap?"
"Sulap mengalir di dalam darahku, Alden. Aku hanya berhenti melakukan pertunjukan sementara waktu. Hanya karena orang-orang tak melihatku di atas panggung, bukan berarti aku berhenti dari sulap."
Aku melihat ke arah meja ruang tamu. Sebuah figura, dengan foto yang memotret dua orang dan membekukan mereka di dalamnya. Seorang laki-laki yang memakai topeng putih—persis seperti topeng yang dipajang di dinding. Postur tubuhnya sekilas mirip Tuan Pesulap.
Di sebelahnya, terlihat seorang anak laki-laki yang tersenyum lebar, menampakkan gigi yang berderet. Usianya mungkin sembilan atau sepuluh tahun. Siapa anak ini?
Background foto ini adalah tirai. Apa ini di panggung?
"Tu—eh?" Tuan Pesulap sudah tak terlihat. Aku cepat-cepat berlari kecil ke arah dalam rumah, meninggalkan figura foto dan rasa penasaranku.
Tuan Pesulap belum jauh rupanya. Ia baru akan melangkah ke arah dapur, tapi sebelum kakinya menginjak lantai dapur, ia memasuki ruangan di balik pintu kaca di sebelah kirinya. Kalau saja Tuan Pesulap tidak membukanya, aku akan menganggap pintu itu sebagai cermin, tanpa tahu ia adalah pintu. Dari dalam, kelihatannya ia adalah pintu yang terbuat dari kaca one-way. Bagian dalamnya adalah kaca yang bisa membuatku melihat ke luar, sementara bagian luarnya berupa cermin.
Sebuah tangga, mengarah ke bawah. Kelihatannya, ruangan ini khusus untuk menampung tangga. Lampu bercahaya putih yang mengiringi langkah kami turun tak terlihat lagi begitu kakiku menginjak anak tangga terakhir. Cahayanya masih terlihat, tapi tubuhku membuatnya hanya menyisakan bayang-bayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
End of The Magic
FantasyAlden selalu berkhayal menjadi seorang pesulap. Leiro, kakak sekaligus penonton pertamanya, mengajukan sebuah permintaan pada Alden. Lei ingin lari dari dunia yang penuh hiruk pikuk ini. Ketika berhasil menjadi seorang pesulap dalam asuhan pesulap...