29

3 1 0
                                    

Seorang pria berdiri di depan pagar rumah Tuan Pesulap. Tangannya memegang setangkai mawar putih. Entahlah itu bunga asli atau imitasi.

Ia hanya memandang rumah Tuan Pesulap. Tak mengetuk pintu pagar. Bahkan disentuh pun tidak.

“Ada yang bisa kubantu, Tuan?” tanyaku pelan.

Ia menoleh. Aku mendongak, memandangnya dari kepala. Rambut tipis yang sudah memutih. Tipe wajah ramah yang terlihat selalu tersenyum, sekalipun kumis putih menutupi mulutnya.

Sebenarnya ia tak terlalu gemuk, walau tak terlalu kurus juga. Pakaiannya saja yang membuatku sempat terfokus ke perutnya selama beberapa saat. Mungkin salah kemejanya yang terlalu kecil sampai pusarnya bisa mengintip dari lubang antar kancing.

Aku kembali mendongak untuk menatap wajahnya. Usianya mungkin sudah lima puluh, atau lebih. Lebih tua dari Ayah. Dan, ia begitu ... familier. Apa aku pernah bertemu dengannya?

“Rasanya seperti de javu.” Ia terkekeh pelan. Kerutan di sudut matanya bertambah saat ia tertawa. “Kamu tak mengenalku, Alden?”

Tunggu .... Dia baru saja bilang “Alden”? Kapan aku memperkenalkan diri? “Anda mengenalku?”

Lagi-lagi ia tertawa. Kali ini sambil menggelengkan kepala seakan tak habis pikir. “Ya ampun, selama ini ia benar-benar tak pernah mengenalkanku padamu? Ia tak bercanda saat mengatakan itu rupanya. Aku pemilik teater tempatmu sering latihan sulap, Nak.”

Pemilik teater? Ini orangnya? “Ia pernah membicarakan Anda. Satu kali, saat aku bertanya apa ia sudah mendapat izin untuk menggunakan teater sebagai tempat latihan. Katanya, kalian sudah bersahabat lama.”

“Bersahabat lama, katanya? Aku akrab dengan gurunya, sebenarnya. Mungkin aku bisa lebih akrab lagi dengan pesulap muda itu kalau dia tak menutup diri. Padahal dia benar-benar ceria dulu. Untungnya, ia menjelaskan segala skenario buatannya. Bagaimana ia menyiksa diri dengan membiarkan sosok lain hidup menggantikannya demi balas budi. Aku tak perlu menghancurkan skenario membingungkan itu, cukup membantunya dari belakang layar.”

Aku menelan ludah. Menyiksa diri dengan membiarkan sosok lain hidup menggantikannya benar-benar membuat bulu kudukku meremang. Kuhela napas panjang. “Bagaimana kalau kita bicara di dalam saja, Tuan?”

Ia terdiam, menoleh ke arah rumah Tuan Pesulap. Tatapannya terasa tenang. Tak lama kemudian, ia mengangguk.

Kubuka pagar dan membiarkannya masuk duluan. Ia langsung berjalan ke arah pot mawar putih, seolah tahu di bawahnya sering tersimpan kunci. Namun, kali ini bagian bawah pot itu kosong, hanya ada tanah.

“Kuncinya ada padaku, Tuan.”

Ia menoleh, lalu tertawa. “Ya ampun. Kalian benar-benar sama. Alasanmu pasti karena berpikir tak akan ada yang kemari setelah kepergian gurumu itu. Aku benar-benar merasa kembali ke masa lalu.”

“Kalian?” tanyaku pelan sambil membuka pintu yang sudah tak terkunci. “Siapa yang Anda maksud?”

“Kamu dan anak itu.” Pemilik teater menunjuk ke arah figura di meja. Bukan figura yang menyimpan foto Tuan Pesulap dan aku. Foto satunya. Pesulap bertopeng dan seorang anak.

“Anda mengenalnya? Semirip apa kami? Mengapa semua orang mengatakan kami mirip? Di mana dia sekarang?”

“Seharusnya, anak itu adalah pesulap yang menjadi gurumu.”

“Seharusnya? Maksud Anda?”

Pemilik teater tersenyum lemah dan duduk di kursi ruang tamu. “Anak itu mencari cara supaya ibunya tetap tersenyum di rumah sakit. Ia memilih sulap dan berguru pada sahabatku. Beberapa tahun kemudian, ibunya meninggal. Tawa anak itu menghilang. Sahabatku ingin menghiburnya, lalu bertanya seperti apa tempat impian anak itu. Anak itu menjawab, sebuah negeri yang dibuat dari kartu. Ia dibawa ke sana dengan sihir dan perjanjian. Tak boleh melebihi waktu dan hanya melihat dari tempatnya berdiri, tidak ke mana-mana. Kamu bisa menebak kelanjutannya, Nak?”

“Anak itu tak menepati janji.” Persis seperti Lei. Antusias dan penasaran menggebu di dalam dirinya. Ia tak akan ingat untuk kembali.

“Tepat. Di dunia penuh kartu yang diimpikannya, anak itu bertemu kembali dengan ibunya yang baru meninggal. Ia tak akan mau kembali. Waktunya habis. Saat kembali, ia langsung terbaring lemas. Kami menjelaskan tentang efek sihir yang digunakannya dan anak itu hanya tertawa sambil mengatakan sesuatu. Aku masih ingat jelas apa kata-katanya saat itu.”

“Apa yang dikatakannya?”

Pemilik teater menoleh ke arahku. Ia tersenyum lebar, tapi alis matanya tidak menunjukkan ekspresi yang sama. Sepertinya ... ia merasa sedih. “’Ibu menyuruhku menggantikannya hidup. Tapi, sepertinya aku akan menemui Ibu lagi. Terima kasih banyak.’ Kurang lebih seperti itu kata-katanya.”

“Anak itu ... sudah tiada?”

“Seharusnya iya. Namun, ia mendapat kesempatan selanjutnya seperti yang didapat kakakmu. Sahabatku menggantikannya. Sejak itu, aku tak pernah melihat tanda kehidupan pada senyum anak tersebut. Ia tumbuh dalam asuhanku, tapi tak tumbuh menjadi dirinya sendiri. Ia ingin menggantikan sahabatku, tak mendengarkanku yang tak ingin kehilangan sosok anak ceria itu. Aku selalu di belakang layar, jadi mudah bagiku untuk mengatur sebuah pertunjukan, memakai pakaian yang serupa dengan sahabatku setiap kali ia tampil, lalu melakukan sebuah sulap yang ... gagal. Orang-orang memiliki banyak kesimpulan. The Shadow mati. The Shadow menghilang. Asalkan tak ada yang menyimpulkan ia masih hidup, aku tak peduli.”

“Bagaimana Anda keluar dari peti itu dan mengganti diri dengan kerangka?”

Ia memandangku lama. Ada keterkejutan di matanya. Tak ada kata-kata dari mulutnya. Apa aku telah salah bertanya?

“Aku pernah menjadi pesulap yang bisa menggunakan sihir. Seperti sahabatku, pesulap muda itu, dan kamu, Nak. Itu dulu. Sebenarnya, kerangka itu sudah ada sejak awal di dalam peti. Aku menggunakan sihir teleportasi seorang diri, yang menurut aturan sihir tidak boleh dilakukan sendirian, bila tak berpindah dunia. Aku melawan aturan sihir. Aku memang berhasil berpindah. Tubuhku tak mengalami penolakan seperti mati rasa atau mual. Tapi tak ada lagi sihir yang bisa kugunakan. Hukuman karena melawan aturan milik sihir. Saat melatih anak itu, aku hanya bisa mengawasi dan menambah beberapa aturan tambahan. Aturan menjadi semakin banyak dan berbaur sampai tak bisa dibedakan yang mana aturan asli, yang mana aturan tambahan.”

Tuan Pesulap pernah menyebut aturan sihir. Hanya sekali. Apa karena adanya aturan tambahan dari pemilik teater, ia tak pernah menyebutkan aturan sihir lagi? Atau, ia menyebutkan isi aturannya tanpa mengatakan bahwa itu adalah aturan sihir? “Efek dari sebuah sihir, apa itu adalah bagian dari aturan?”

“Benar. Ada satu yang cukup penting. Entahlah kamu sudah mengetahuinya atau belum. Sihir tak akan bisa bertahan di dunia bila tak memiliki wadah. Wadah adalah manusia yang mempelajari sihir, dan berhasil menjinakkan sihir.”

Kurasa, Tuan Pesulap pernah mengatakan tentang ini di suratnya. Jadi, itu bukan kekhawatiran berlebih saja? “Apa sihir akan menghilang sepenuhnya dari dunia?”

“Bukan akan, Nak. Ia sudah hilang. Kecuali ... ada sihir yang jinak padamu. Satu saja. Jika ada, itu cukup untuk menggiring sihir lainnya. Jika tidak, waktunya kembali melatih diri dengan trik sulap biasa. Seperti yang kulakukan.”

Pria itu berdiri dan berjalan ke arah dapur. Aku segera mengikutinya, khawatir tak mendengar perkataannya. Namun, ia tetap diam. Hanya memasukkan mawar ke dalam vas berisi air.
Gerakannya begitu tenang. Seperti Tuan Pesulap.
Rasanya terlalu banyak yang masuk ke kepalaku saat ini.

Sihir menghilang karena tak memiliki wadah. The Shadow adalah guru Tuan Pesulap, bukan Tuan Pesulap itu sendiri. Pemilik teater-lah pesulap yang dianggap mati oleh orang-orang, bukan The Shadow asli. The Shadow asli adalah pria “berantakan” yang kulihat di dunia sihir. Tunggu ... Ayah sempat mengatakan tentang anak iseng yang sering keluar masuk rumah tetangganya setelah kosong. Apa anak itu adalah Tuan Pesulap?

“Hei, Nak.”

Aku mendongak, memandangnya yang tengah memegang vas berisi bunga.

“Ingin ikut turun ke ruang eksperimen? Kurasa, tujuanmu ada di sana juga. Bila kau ikut, sebaiknya ambil tasmu di ruang tamu juga.”

----------------

To be continued ....

End of The MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang