Piringnya ... pecah.
Rasanya tubuhku membeku, tak berniat bergerak, entah sejak kapan. Bahkan tanda-tanda refleks untuk menangkapnya pun tak ada. Aku melihat sendiri dengan mata kepalaku ketika piring itu meluncur dari tanganku, tapi tak ada yang kulakukan. Saat ia menyentuh lantai dapur dan menyebabkan bunyi keras pun, aku hanya memandanginya kosong.
Ibu menoleh dari arah ruang keluarga. Mulutnya sudah terbuka untuk mengatakan sesuatu ketika aku langsung bersuara. "Maaf, tanganku licin saat mencucinya. Aku akan membersihkannya sendiri, Bu."
Ibu hanya memijat pelipisnya, lalu mengangguk dan pergi.
Pecahan kaca dari piring berwarna putih susu itu tersebar di lantai dapur yang berwarna hitam. Sapu ada di sisi lain dapur, aku harus keluar dari lautan kaca ini. Aku berjalan dengan berjinjit, menghindari pecahan kaca yang tertangkap mataku.
Tepat saat aku berhasil melintasi dapur, tangan kananku meraih sapu. Tapi, sepertinya sapu itu mendadak bisa bergerak sendiri dan jatuh ke lantai.
Kurasa, masalahnya bukan berada pada sapu, tapi pada tanganku.
Aku melirik tangan kananku yang lunglai. Menggunakan tangan kiri, aku menekannya. Tak terasa apa-apa. Aku mencoba mencubit tangan kananku. Hanya ada warna merah di atas kulitnya, sisa dari cubitan barusan, tapi aku tak merasakan sakit.
Kucoba mencubit lengan kanan. Masih tak terasa apa pun. Setidaknya, sampai kulit dari setengah lengan bawahku sudah berwarna merah. Tepat setelah itu, aku bisa merasakan sakit. Bahkan, rasa sakit itu masih berdenyut sekalipun aku sudah tak mencubitnya. Pertanyaanku, mengapa hanya yang terakhir ini yang terasa sakit, sementara cubitan lainnya tak menyisakan apa pun selain kulit yang memerah?
Apa karena dari titik itu hingga ujung jariku masuk ke dalam topi Tuan Pesulap tadi?
Berarti, aku hanya harus mengompresnya dengan air hangat, bukan?
Sebelum itu, aku punya sesuatu yang harus kulakukan. Membersihkan kekacauan dari pecahan kaca piring ini ... dengan tangan kiri. Aku yang tidak kidal ataupun ambidextrous[1] harus membersihkan pecahan kaca dengan tangan kiri? Berapa lama ini akan berlangsung? Beberapa tahun, mungkin?
***
Setelah beberapa jam yang terasa seperti selamanya, akhirnya aku meninggalkan dapur dengan keadaan—yang kurasa—sudah bersih dari pecahan kaca. Aku menaiki tangga dengan tangan kiriku membawa mangkuk berisi air panas.
Seharusnya, ini air hangat. Sayangnya, ia menjadi air panas karena tanganku tak cukup gesit untuk memutar balik arah keran. Air panas keluar terlalu banyak, membuat air di mangkuk lebih panas dari harapanku.
Positifnya, aku tak perlu mengganti airnya dalam waktu dekat. Cukup bagus.
Sisi negatifnya, aku tak bisa melakukan apa pun dengan tangan kanan, entah sampai kapan. Aku harus menulisi X, dengan atau tanpa tangan kanan.
"Sejak kapan kamu dominan tangan kiri, Al?"
Lei bersandar di ambang pintu. Jaket dan hard case biola yang terlihat dari tubuhnya membuatku langsung tahu, ia baru saja pulang. Ekspresinya campur aduk. Antara menahan tawa dan khawatir.
"Hari pertamaku tak berakhir baik."
"Well, selalu ada waktu yang menyebalkan dalam setiap hal. Itu juga yang membuatmu tak sengaja menjatuhkan piring tadi?"
"Kamu tahu dari mana soal piring itu?"
"Ibu."
"Kamu baru pulang dari mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
End of The Magic
FantasyAlden selalu berkhayal menjadi seorang pesulap. Leiro, kakak sekaligus penonton pertamanya, mengajukan sebuah permintaan pada Alden. Lei ingin lari dari dunia yang penuh hiruk pikuk ini. Ketika berhasil menjadi seorang pesulap dalam asuhan pesulap...