Seminggu berlalu semenjak Ayah memarahi Lei. Tapi, rasanya tak ada yang berubah. Lei masih sering menyelinap keluar, entah ke mana, dan kelihatannya aku masih bisa mendatangi pertunjukan tanpa halangan.
Oh, aku baru ingat. Tentu saja ada. Halangannya adalah diriku sendiri yang terlalu gugup.
***
Tangan kananku yang gemetar menunjukkan tiket pertunjukan pada petugas penjaga pintu. Ia mempersilakanku masuk ke aula, dan udara kering yang berdebu menyambutku. Panggung kayu di ujung depan aula dibingkai oleh kain gorden merah yang kelihatannya begitu lembut.
Aku duduk pada salah satu kursi kosong di barisan depan.
Seluruh lampu dimatikan, menyisakan satu lampu sorot yang cahayanya tertuju pada panggung. Debar jantungku terasa begitu keras. Aku khawatir wanita yang duduk di sebelahku bisa mendengarnya.
Pembawa acara mengumumkan dimulainya pertunjukan, tapi mataku tak kunjung menemukan keberadaan sang pesulap.
Keheningan yang menyelimuti mendadak dipecah oleh suara kepakan sayap burung, membuatku terkesiap dan menoleh ke sisi kanan tempat duduk, asal suara tersebut. Dia di sana! Pesulap itu tengah berdiri di puncak tangga, persis di bawah siraman lampu sorot—yang entah sejak kapan menyorot ke sana. Ia menuruni tangga perlahan, sementara seekor merpati bertengger dengan anggun di lengannya.
Pandangan diedarkan ke seluruh penontonnya selagi ia melangkah, dan terhenti padaku. Senyumnya melebar, membuatku balas tersenyum dengan kaku. Matanya terasa begitu dalam, persis seperti lautan.
Ia meneruskan langkahnya ke panggung, sementara aku masih berusaha menenangkan diriku sendiri.
Selama menonton, tubuhku tak berhenti gemetar. Tanganku terus saja meremas satu sama lain, seakan mencari kehangatan yang baru saja memudar karena pendingin ruangan membawanya. Aku tahu benda itu disetel dengan kencang, tapi aku bukan kedinginan.
Ini pasti karena trik-triknya yang terasa aneh. Ada hawa lain dari setiap trik yang dilakukannya, dan keanehan jelas dari hal yang kutonton, terutama pada trik yang barusan selesai.
Ia meniupkan udara hangat ke arah penonton—secara harfiah. Pria tersebut membukanya dengan bertanya, "Apa kalian semua merasa dingin?"
Suaranya terasa tenang, tapi berhasil menggema hingga ke sudut ruangan. Entahlah apa dia memakai mic yang tersembunyi di kerah jubahnya atau tidak, aku tak merasa gema perkataannya berasal dari speaker.
Tak ada penonton yang menjawabnya, hingga seorang anak perempuan—mungkin usianya baru lima atau enam tahun—yang duduk di sisi kiri panggung mengatakan "iya".
Sang pesulap menunduk singkat ke arah si anak. Saat ia kembali menegakkan tubuh, aku bisa melihatnya menghela napas dalam-dalam, lalu meniupkan sesuatu ke arah bangku penonton tempat anak tadi duduk. Tangan kanannya diletakkan tak jauh dari dagu, seakan menjadi corong untuk udara yang ditiupnya.
Reaksi tertahan para penonton membuatku bertanya-tanya apa yang baru dilakukannya.
Tak lama, ia berjalan ke arah deretan bangku tengah—tempatku duduk. Ia melakukan hal yang sama, dan aku langsung mengerti apa yang telah terjadi. Ia meniupkan udara yang begitu hangat. Aku berani bertaruh ini bukan karena memainkan suhu pendingin udara.
Aku tak sedang menonton sebuah pertunjukan sulap biasa, karena ini adalah sihir yang sesungguhnya. Ia satu-satunya pesulap yang pernah kutemui. Aku akan memanggilnya sebagai Tuan Pesulap.
Suara langkah mendekat di atas panggung kayu yang ditutupi karpet merah membuatku mendongak, memulihkan kesadaranku sepenuhnya. Tuan Pesulap sedang membungkukkan sedikit tubuhnya, mengulurkan tangan ke arahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
End of The Magic
FantasiaAlden selalu berkhayal menjadi seorang pesulap. Leiro, kakak sekaligus penonton pertamanya, mengajukan sebuah permintaan pada Alden. Lei ingin lari dari dunia yang penuh hiruk pikuk ini. Ketika berhasil menjadi seorang pesulap dalam asuhan pesulap...