Rumah-rumah hanya terlihat sesekali, terbukti bahwa kami sudah cukup jauh dari pusat kota. Bis terus melaju, membuatku hanya bisa melihat sekilas pada pemandangan, tapi bagiku, itu sudah lebih dari cukup untuk mengetahui apa yang ada di luar.
Sebenarnya, Lei mau membawaku ke mana?
Aku melirik Lei. Ia hanya duduk dengan tenang, memejamkan mata sambil mendengarkan headphone-nya. Tangan kirinya mengetuk-ketuk di atas paha, mungkin mengikuti irama musiknya, sementara tangan kanannya memeluk hard case biola.
Saat mata Lei mendadak terbuka, ia melirik singkat ke arahku. "Bersiaplah, Al. Sebentar lagi kita turun." Kemudian, ia berdiri menekan tombol di tiang pegangan bis.
Benar-benar sebentar, karena tak lama kemudian, bis berhenti di sebuah halte kosong. Lei memberi isyarat untukku mengikutinya. Halte ini hanya terdiri dari kursi sepanjang tiga meter, dengan kanopi menjadi penahannya dari panas dan hujan. Lubang-lubang terlihat pada kanopi, bersama dengan warna kecokelatan—seperti warna dari karat besi.
Aku merasa tengah berada di negeri entah-berentah. Masih jauhkah tempat yang dibilang Lei sebagai tempat yang menakjubkan itu?
"Al, ke arah sini."
Lei melambaikan tangan sambil berjalan di antara pepohonan. Aku bergegas mengejarnya. Sebuah jalan tanah yang berbatu? Apa bagian selebar lima meter ini sengaja tak ditanami pohon supaya ada jalan? "Tak diaspal?"
"Tidak. Memang jalanan ini adalah jalan pintas menuju kompleks perumahan orang kaya, tapi, yah, kamu bisa menebak sendiri mereka seperti apa. Orang dengan banyak uang bisa membeli mobil apa pun yang dia inginkan. Satu mobil offroad tak akan menghabiskan isi rekening mereka."
"Berarti ... kita sedang berjalan kaki ke rumah orang kaya?"
"Benar. Orang kaya, meski untukku, bukan kekayaannya yang menjadi daya tarik."
"Lalu apa?"
"Musiknya."
Tepat saat Lei mengatakan itu, terlihat sebuah pos kecil. Di sebelahnya, gerbang berwarna hitam berdiri setinggi tiga atau empat meter. Di mataku, rasanya ia seperti jeruji penjara. Terutama dengan keadaan ia satu-satunya jalan keluar-masuk yang bisa kulihat, karena pos dan gerbang tersebut diapit dinding setinggi pagar.
Lebar bangunan pos itu mungkin hanya 2x3 meter persegi, dengan kaca besar yang menutupi sebagian besar dinding pos. Dari kaca tersebut, aku bisa melihat dua petugas berseragam di dalamnya. Salah satunya berjalan keluar. Lei melambai ke arahnya, dan melenggang dengan tenang seakan ia salah satu penghuni tempat ini.
Dan ... petugas itu membukakan gerbang besar saat Lei mau lewat? Astaga! Telah berubah menjadi sosok seperti apa kakakku ini sampai dibukakan pintu yang menjaga kompleks perumahan orang kaya?
Setelah memasuki gerbang, akhirnya aku bisa melihat seperti apa tempat yang dijaga oleh dinding tinggi tadi. Rumah mewah. Mobil yang mengilap. Jalanan mulus. Sepertinya gerbang yang kumasuki adalah gerbang menuju dunia lain.
Ini benar-benar ... berkebalikan.
Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kondisi jalan tanah berbatu di luar pagar.
"Al," panggil Lei pelan setelah cukup jauh dari pos, "selebriti—seperti aktor dan aktris, musisi terkenal, artis papan atas, serta orang terkenal lainnya—memiliki banyak rumah untuk menunjukkan betapa kayanya mereka. Tapi, bagaimanapun juga, mereka juga manusia. Mereka juga ingin mendapat ketenangan. Mereka juga butuh privasi dari dunia. Oleh karena itu, beberapa dari mereka membeli rumah di sini. Itu saja sedikit pesan dariku, supaya kamu tidak mendapat serangan jantung mendadak ketika melihat siapa yang akan kita temui."
Lei berjalan mendekati sebuah rumah. Pintunya terbuka, dan aku bisa melihat di dalamnya, ada banyak orang yang berkumpul.
Memasuki rumah yang penuh orang ini tak membuatku tahu tentang apa pun di sini. Sebagian besar dari mereka membawa biola. Beragam bentuknya, tapi kebanyakan yang kulihat adalah biola elektrik[1]. Selain bentuk, warnanya pun beragam.
Sebagian lainnya—yang tak membawa biola—membawa alat musik lain. Harmonika, gitar, atau cajon.
Usia semua orang di sini juga beragam. Dari yang seusiaku hingga seusia Ayah—atau mungkin lebih tua.
Penampilan semua orang ini bukan seperti seperti musisi atau group band di majalah atau televisi. Bukan pula formal seperti rekan kerja Ayah—aku tak tahu apa yang tepat untuk orang yang sering berganti rekan seperti Ayah—yaitu para komposer, konduktor, atau pemain alat musik di orkestra.
Penampilan orang-orang di depanku benar-benar ... biasa.
"Kukira aku sudah memintamu supaya tak terkejut, Al."
"Penampilan mereka mengejutkan untukku."
"Kamu terbiasa melihat orang yang rapi saat memainkan alat musik, ya? Kalau begitu, selamat datang di perkumpulan ilegal dunia musik. Sebagian besar orang di sini adalah pengamen, serta beberapa musisi dan pemusik terkenal menggagas ide untuk membentuk perkumpulan ini. Di sinilah, musisi dan pemusik yang mau menjadi relawan, tak peduli nama dia dikenal masyarakat atau tidak, mengajari cara bermain alat musik pada para pengamen."
"Kau sudah mencobanya, bukan, Lei? Sulitkah mengajari orang lain?"
"Kesulitan akan menyenangkan bila kamu melaluinya dengan bahagia. Aku berani berkata bahwa aku merasa membuat aransemen lebih sulit daripada mengajar. Aransemen itu mendapat nyawa dari pembuatnya, sementara orang-orang ini ... nyawa mereka jelas sudah ada. Yang terpenting adalah keinginan. Mereka mau belajar, dan alasan itu sudah lebih dari cukup bagiku untuk mengajari mereka, Al. Lagi pula, dengan mengajari orang lain, kita bisa memetik banyak hal baru. Dunia di mata mereka berbeda dengan dunia yang kulihat, Al, dan aku ingin mengetahui lebih banyak seperti apa dunia di mata mereka."
Aku tak pernah mengerti musik terlalu dalam, tapi ini ... indah. Bagaimana ilmu membelah dirinya seperti amoeba, pindah ke orang yang benar-benar ingin mempelajarinya.
Tak ada paksaan.
Hanya ada keinginan.
Rasanya ... terlalu indah. Bagaikan mimpi. Apa ada perkumpulan sulap seperti ini? Apa aku bisa menemukan orang-orang yang memang ingin mempelajari sulap?
Di antara suasana yang ramai oleh suara obrolan orang-orang, aku bisa mendengar suara langkah mendekat, dan berhenti di jarak yang begitu dekat. Saat aku melirik asal suara, Lei tengah berbicara dengan seorang pria.
Tingginya mungkin 180 cm, dengan tubuh tegap di balik jaket kulit. Ia jelas membuatku mendongak jika ingin melihat wajahnya.
Seringai yang terkesan sangar. Jenggot yang tak dicukur rapi. Rambut sepanjang leher yang dikucir. Mata yang ramah. Suara berat—aku tak ingat perbedaan tingkatan suara, tapi mungkin ini jenis suara bass.
Familier. Aku pernah melihat wajahnya di suatu tempat, juga mendengar suaranya, tapi ... di mana?
"Al, kurasa kamu tahu dia siapa, bukan?" Lei menyikut lenganku. "Musisi terkenal. Sering muncul di televisi, dan Ibu sering menontonnya."
Ah! Benar! Aku pernah melihatnya di televisi! Ia bisa bernyanyi dan memainkan musik, dianggap multi talent oleh kebanyakan orang—terutama penggemarnya.
Tunggu ... Lei—yang saat ini tengah memperkenalkan aku pada pria tadi—mengenal musisi terkenal ini? Sejak kapan?
Musisi itu melangkah menjauh. Aku memandang Lei, meminta penjelasan padanya. Namun, persis seperti yang seharusnya kuduga dari seorang Lei, ia hanya mengibaskan tangan sambil berkata, "Kuceritakan lengkapnya nanti. Prinsip Thurston nomor dua, dilarang mengatakan apa yang akan terjadi menjelang pertunjukan, benar?"
----------------
Footnote:
[1]Biola elektrik adalah biola dengan bodi yang tidak memperkuat suara (karena dilakukan melalui amplifier listrik) sehingga biola dapat memiliki banyak bentuk menarik tanpa memengaruhi suaranya.
----------------
To be continued ....
KAMU SEDANG MEMBACA
End of The Magic
FantasyAlden selalu berkhayal menjadi seorang pesulap. Leiro, kakak sekaligus penonton pertamanya, mengajukan sebuah permintaan pada Alden. Lei ingin lari dari dunia yang penuh hiruk pikuk ini. Ketika berhasil menjadi seorang pesulap dalam asuhan pesulap...