3

49 24 120
                                    

"Uangku tidak berkurang."

Aku mengguncangkan stoples berisi di depan wajah Lei yang baru pulang entah dari mana. Ia memiringkan kepala supaya bisa melihatku. Senyum lebar di wajahnya membuatku ingin mengetuk kepalanya dengan stoples di tanganku.

"Kamu percaya sihir, bukan?"

Kuembuskan napas kasar sambil menggarukkan kepala dengan keras. "Tentu saja aku percaya, Lei. Maksudku, kamu bilang kamu akan menghitungnya. Lalu, mengapa kamu memasukkan semua koinnya ke dalam stoples lagi?"

"Aku mengambilnya, lalu menggandakannya." Ia menyeringai lebar. Persis seperti orang di iklan pasta gigi yang menjadi sponsor drama televisi favorit Ibu.

"Pertama, kamu pemusik, bukan pesulap. Kedua, itu tidak mungkin terjadi!"

"Seorang pesulap selalu percaya bahwa tak ada hal yang mustahil untuk mereka lakukan, bukan?"

Aku mendudukkan diri di lantai kamar Lei yang ditutupi karpet. Kalau sudah begini, namanya bukan menukar uang koin menjadi kertas, tapi memberikan uang pada Alden. Tunggu, dari mana Lei mendapatkan uang sebanyak itu? Dia ... menghabiskan tabungannya? Tabungan Lei memang sudah berkali-kali mengalami pertukaran uang untuk mengurangi uang bernilai rendah di dalamnya. Mengapa ia mau memberi uang sebanyak itu?

Lei berdiri dari kasurnya, mengambil biola di dalam hard case-nya yang berwarna hitam. Bagian dalam cerukan untuk meletakkan biola adalah kain berwarna hijau, terlihat begitu lembut. Bahkan biolanya memiliki selimut sendiri dengan warna hijau—senada dengan cerukan pada case.

Benar-benar diperlakukan seperti manusia.

Mataku terus mengikuti Lei yang saat ini duduk di belakang meja belajarnya. Ia menggesek senar sebentar, lalu berhenti. Tangan kanannya yang sebelumnya memegang bow sudah memegang pensil dan menulis sesuatu. Tak sampai dua menit kemudian, Lei kembali menggesek biolanya. Persis seperti sebelumnya.

"Ada apa dengan aransemen minggu lalu?" tanyaku pelan.

"Ayah menyobeknya. Tidak bagus, katanya, dan aku harus membuat yang baru lagi." Lei mengembuskan napas panjang. Ia tak menoleh sedikit pun. Pandangannya melekat pada senar biola, lalu berganti pada hal yang ditulisnya—kutebak, mungkin ia menulis not di paranada. Terus saja berganti-ganti seperti itu. Aku tahu ia sudah terbiasa melakukannya sejak lama, tapi aku ingat aransemen yang dibuatnya minggu lalu sangat indah.

"Seperti apa standar yang ditetapkan Ayah?"

"Mungkin dia ingin aku seperti Mozart?" Lei melirik sekilas sambil tertawa kecil. Ia mengedikkan bahunya sedikit.

"Kurasa tidak masalah bila sesekali kau bermusik sesuai keinginanmu, Lei."

"Entahlah, Al. Aku hanya merasa ini mungkin yang terbaik untuk saat ini. Setidaknya, dengan begini, bukan kamu yang dibebani ekspektasi dan harapan besar darinya."

Aku memandang lama pada Lei yang tersenyum. Ia selalu tersenyum dan tertawa, tapi aku tahu ada yang mengganjal hatinya.

Nama Lei dipanggil. Ayah yang memanggilnya. Suara beratnya terus bergaung di telingaku sampai sekarang, meski Ayah sudah berhenti memanggil. Firasatku berkata bahwa ada hal mengerikan yang terjadi.

Lei melirik ke arahku, mengangkat bahu. Ia berdiri dan berjalan keluar kamar. Aku baru akan berdiri untuk mengikutinya ketika Lei memberiku isyarat dengan tangannya, menyuruhku menunggu.

Setelah memastikan Lei benar-benar turun, aku mendekati tangga dan duduk di undakan teratas. Suara Ayah terdengar begitu keras. Siapa pun yang mendengarnya pasti tahu bahwa Ayah sedang marah besar.

End of The MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang