1

118 40 196
                                    

Suara kepingan koin yang jatuh ke lantai keramik membuat fokusku buyar sepenuhnya. Koin satunya yang masih berada di sela jariku ikut jatuh menyusul temannya.

Argh! Gagal lagi!

Aku menjatuhkan tubuh ke atas lantai kamar yang terasa dingin. Begitu kontras dengan hawa di sekeliling tubuhku. Apa ini efek amarah pada diri sendiri yang terlalu meluap?

"Kamu mencoba trik sulap baru lagi, Alden?"

Eh? Aku langsung menoleh ke arah pintu kamar yang—tak sengaja—kutinggalkan terbuka. Kepalaku yang sempat panik langsung tenang seketika saat melihat sosok di ambang pintu. Persis seperti besi panas yang mendadak dicelupkan ke air es. Bisa jadi rusak karena terkejut, tetapi setidaknya, ia tak lagi panas.

"Oh ... Lei." Aku mengembuskan napas lega dan tersenyum miring menyambut kakak laki-lakiku yang fokusnya tertuju pada barang-barang di lantai kamar. Setangkai bunga mawar imitasi dan selembar tisu yang digulung. Melihat adanya pemantik yang biasa disimpan di meja ruang keluarga untuk menyalakan lilin di saat darurat, aku berani bertaruh Lei pasti tahu trik apa yang mau kulakukan.

Seharusnya aku menyadari kedatangannya kemari. Jadi, dia tak akan melihat barang-barang untuk trikku. Kalau sudah begini .... Sudahlah, aku hanya bisa pasrah.

"Trik apa lagi yang akan kamu tontonkan padaku sekarang, Al?"

Pertanyaan retoris? Atau ... dia sengaja menggangguku? "Hentikan. Kamu tahu tiga prinsip utama pesulap, bukan?"

"Well, kamu pasti lebih tahu. Lagi pula, aku bukan mempertanyakan bagian di balik layar dari sebuah trik sulap, Al." Ia mengangkat bahu, lalu berjalan memasuki kamarku dan duduk di kasur. Bunyi derit kayu saat beban tubuh Lei menimpanya tak membuatku menoleh dari koin-koin di tangan.

Namun, bila diminta berpikir positif, kurasa Lei benar-benar ingin menguji seberapa kuat fokusku dengan bertanya, "Setahuku pesulap itu tenang dan apik. Kamu pasti pesulap paling berbeda dari yang lainnya, ya?"

Aku menoleh ke arah yang tengah dilihat Lei. Selimut biru mudaku berantakan di atas kasur, dengan ujungnya menyentuh lantai keramik berwarna putih. Perpaduan warna itu ... persis seperti pesulap yang pernah kulihat pada halaman belakang sebuah majalah. Seingatku, itu adalah majalah dijual di kedai yang berada persis di belokan terakhir dalam perjalanan ke sekolah. Mata biru sewarna Laut Aegea, dengan pakaian serba putih—termasuk topi tingginya.

Seperti Santorini di Yunani.

Kesan mendalam dari kedalaman laut, serta suci dan anggun dari bangunan yang dominan berwarna putih. Persis seperti sulap itu sendiri.

"Ke mana pun kepalamu melanglang buana saat ini," ujar Lei, membuat semua yang kupikirkan melayang pergi seketika, "sebaiknya kamu membereskan barang-barang ini sebelum Ibu pulang, Al."

Ibu.

Satu kata yang menggambarkan sosok hangat dan ceria. Tapi, kehangatan serta keceriaan itu akan hilang buyar sepenuhnya setiap mengetahui anak-anaknya—terutama aku—bermain dengan sulap. Ibu tak pernah bercerita perihal itu, dan aku tak mengherankannya karena aku sendiri tak pernah mempertanyakannya secara lisan. Dengan keadaan Ibu marah dan membuang seluruh benda yang berhubungan dengan sulap, bagaimana caranya aku bisa bertanya?

Lei benar. Sebaiknya semua peralatanku sudah bersih sebelum Ibu pulang dari pertemuan "Para Tetangga Baik".

Aku berdiri, mengambil tas dari gantungan di sebelah pintu, lalu berjongkok di sisi peralatan sulap yang berceceran di lantai. Semua benda tersebut kumasukkan ke tas—kecuali gulungan tisu yang hanya kuletakkan di atas meja. Aku bisa menggunakannya nanti.

End of The MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang