20

6 3 0
                                    

Nuansa di sekeliling mengingatkanku pada Acropolis di Yunani. 

Warna putih gading mendominasi deretan pilar yang mengelilingi tempat ini. Ukiran bergaya corinthian menjadi sepatu yang memperindah bagian bawah pilar. Berkebalikan dengan bagian tengah hingga atas yang terbelah, seakan runtuh dimakan usia. Belahan itu tak rapi, dan membuat tinggi setiap pilar tak seragam. 

Kakiku berpijak pada pecahan batu sewarna pilar. Lubang-lubang yang terbentuk dari perbedaan ukuran pecahan batu membuatku bisa mengintip ke bawah batu, terutama pada lubang yang lumayan besar.

Jantungku mencelos saat mengetahui apa yang ada di seberang lubang di tanah. Aku langsung terkesiap sambil berdiri, dan berjalan menjauh seakan tak melihat apa pun.

Sayangnya, kepalaku sulit melupakannya. Ia pasti sulit melupakan betapa kosongnya di bawah batuan ini. Kosong secara harfiah. Mungkin ada lapisan batu dengan tebal sekitar satu meter, hingga akhirnya mataku bertemu warna biru langit yang jernih.

Tempat ini seperti membuatku merasa berdiri di atas awan. Bukan merasa, karena aku benar-benar berdiri di atas awan! Seperti saat berdiri di atas kegelapan, rasanya batu tempatku berpijak bisa jatuh kapan saja, mengingat aku benar-benar dikelilingi langit biru di semua sisi.

Bahkan cuacanya pun sesuai dengan langit biru yang tak menunjukkan adanya awan, mengingat keringat sudah bercucuran di kening dan leher. Kerongkongan yang rasanya begitu lama tak minum semakin merindukan kehadiran air.

Di depanku, sebuah tangga yang menuju panggung menyambutku.

Dari atas panggung, aku melihat sekeliling. Di sisi kiri, hanya ada deretan pilar sewarna putih gading, memagari panggung dan kompleks ini dari hamparan langit. Sementara itu, di sisi kanan, dinding setinggi lima meter dari posisiku saat ini terlihat memagari semacam pilar, dengan celah selebar dua meter yang berhadapan langsung dengan panggung.

Celah itu mungkin adalah pintu-tanpa-daun-pintu, karena kelihatannya ia adalah mulut dari sebuah jalur. Bagian atasnya tetap terbuka, menampakkan langit yang cerah.

Aku melompat turun dari panggung, dan berjalan perlahan memasuki celah itu.

Setelah berbelok dua kali mengikuti tikungan yang dibuat tembok—belokan pertama ke kanan, dan yang kedua ke kiri—sebuah jalan bercabang menyambutku. Jalur kiri atau tikungan tajam di kanan?

Matahari tampaknya tak berminat untuk menolongku, atau bahkan mengerti keadaanku. Ia terus saja bersinar terang. Baru cabang jalan yang pertama, dan aku sudah terlalu lama diam di bawah matahari. Bisa-bisa aku pingsan duluan karena dehidrasi.

"Dalam keadaan terdesak, otak manusia secara tak langsung menciptakan banyak jalan keluar yang sebelumnya dikesampingkan oleh manusia tersebut."

Lei benar. Otakku baru saja berkata bahwa aku harus kembali ke pintu masuk karena ia membuat sebuah spekulasi gila yang masuk akal. Aku tak memiliki bukti atas spekulasi itu, tapi entah mengapa aku memercayainya begitu saja.

Tempat ini adalah labirin.

Kakiku langsung membawaku berbalik arah, kembali ke mulut jalur. Di luar "labirin" Aku harus ke tempat yang lebih tinggi untuk membuktikan perkataan kepalaku, dan ... aku kembali lagi ke atas panggung, berdiri membelakangi amphora.

Sebelumnya, kukira tembok labirin itu memagari pilar biasa—yang memiliki ukuran lebih besar.

Namun, setelah kulihat lagi baik-baik, itu bukanlah pilar. Itu adalah patung berwarna putih gading. Berupa sosok berjubah, dengan wajah yang tertutup oleh bayangan. Tangannya memetik harpa. Ia dikelilingi beberapa pilar dengan warna serupa, membuatku berpikir ia hanya pilar besar. Terutama, dengan keadaan matahari melarangku melihat dengan jelas.

End of The MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang