"Karena ia adalah benda mati, pikiranmu menjadi penentu ke mana ia pergi. Ketika kamu mempraktikkannya pada makhluk hidup, pilihan tujuannya menjadi terpecah antara kamu yang memindahkan dan sosok yang dipindahkan. Jadi, supaya tujuannya tetap satu, kamu harus mencoba berpikir bahwa kamu akan memindahkan ke mana pun yang diinginkan orang yang berpindah. Tapi, yah, kelinci kemarin tak akan tahu apa yang tengah terjadi. Ia tak akan berpikir hal macam-macam." Tuan Pesulap mengangkat vas dari lantai, mengembalikannya ke kolong meja.
Ia melanjutkan, "Tenanglah, ini sudah cukup bagus. Delapan kali berhasil dalam tiga hari. Lima kali pada benda mati dan dua kali pada makhluk hidup. Selebihnya mungkin gagal, tapi itu yang membuat hasilnya tampak menakjubkan, bukan? Kamu cepat dalam mempelajari hal baru. Bagaimana efeknya kali ini? Sakit kepala? Pingsan, mungkin? Atau ada yang ingin kamu muntahkan?"
"Sepertinya tidak, Tuan." Antara mati rasa dan memang kepalaku tak sakit, aku tak bisa merasakan apa efek kali ini kecuali perutku yang mual dan tubuh yang lemas. "Apakah memungkinkan bila ada orang yang memasuki dunia keinginanku tanpa sepengetahuanku? Mungkin, sebelumnya dia ada di dunia miliknya, lalu melintas ke duniaku. Bisakah itu terjadi?"
"Bisa, tapi hanya ada satu jenis orang yang sudah jelas bisa melakukannya. Selain itu, aku tak pernah tahu ada atau tidak—"
"Apa sihir paling mengerikan yang telah Anda kuasai, Tuan?"
Ia menoleh—padahal sebelumnya ia menjawab tanpa melihat ke arahku. Sesaat ia tampak terdiam. Ia tak terlihat berpikir keras, tak terlihat juga berusaha menyembunyikan sesuatu. Hanya ... terdiam, seperti memastikan apa ia tak salah dengar. Mungkin pertanyaanku terlalu jauh dari pertanyaan sebelumnya.
"Mungkin ... membatalkan kematian yang berada di depan mata?" Tuan Pesulap terkekeh kecil. Seperti biasa, mata birunya tak bisa kubaca. Inilah poker face sesungguhnya.
Kebetulankah? Katanya, itu sihir paling mengerikan? "Anda serius?"
"Pernahkah aku berbohong padamu, Alden?"
Pertanyaannya membuatku tertegun. Kekehannya menghilang sepenuhnya. Tergantikan oleh senyum tipis dan hawa yang membuat bulu kudukku meremang. Lampu redup di langit-langit ruang eksperimen ini menambah kesan mencekam dari Tuan Pesulap.
Tidak. Kurasa ia tak pernah melakukannya. Ia hanya suka menyimpan arti lain di dalam perkataannya, seperti Lei.
"Tapi, bukankah Anda selalu mengatakan bahwa setiap sihir ada taruhannya? Apa taruhan untuk sihir tersebut?"
Tuan Pesulap memandangku lama, sebelum akhirnya memejamkan mata. "Mimpi buruk bagiku."
Mimpi buruk? Tuan Pesulap—yang kuanggap sangatlah hebat—mengatakan bahwa itu adalah mimpi buruk? Apa taruhannya benar-benar mengerikan?
Dentang dari pendulum jam ayun yang begitu antik membuatku menoleh untuk melihat waktu. Tepat tiga jam sebelum jadwal makan malam yang ditetapkan Ibu. Mataku melirik kalender di sebelah jam. Ah, hampir saja aku lupa. Ini tanggal 31 Maret. Besok hari ulang tahun Lei.
"Aku harus kembali sekarang." Aku bergegas memasukkan peralatanku ke dalam tas. "Dan, maaf, Tuan, tapi mungkin besok aku tak bisa kemari."
Tuan Pesulap menelengkan kepala, menunggu alasanku—yang pastinya cukup bagus. Namun, alasan ketidakdatanganku bukan alasan yang dibuat-buat. Semestinya ia tahu alasannya ... kalau ia ingat perkataanku minggu lalu.
"Kamu yakin akan melakukannya besok?"
Aku menoleh ke arah Tuan Pesulap. Ini kali keempat ia mempertanyakan kembali keputusanku dalam minggu terakhir bulan Maret ini. Kebetulan sekali minggu terakhir ini hanya terdiri empat hari—termasuk hari ini—karena kalau tidak, aku yakin ia akan lebih sering bertanya tentang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
End of The Magic
FantasyAlden selalu berkhayal menjadi seorang pesulap. Leiro, kakak sekaligus penonton pertamanya, mengajukan sebuah permintaan pada Alden. Lei ingin lari dari dunia yang penuh hiruk pikuk ini. Ketika berhasil menjadi seorang pesulap dalam asuhan pesulap...