Tuan Pesulap tak menjawab ataupun bergerak. Kelihatannya ia menungguku menjawab. Dan, Ibu menunggu hal yang sama. Berkata jujur akan dianggap salah untuk Ibu. Mengatakan kebohongan bisa jadi membuat Tuan Pesulap kebingungan dan menganggapnya hal aneh.
Lupakan tentang itu. Kenyataannya, tak ada pilihan yang mengizinkanku berbohong. Aku yang menciptakan pilihan itu.
“Aku teman Leiro. Pemain cello. Leiro tak pernah cerita?”
Aku langsung menoleh pada Tuan Pesulap. Apa aku salah dengar? Ia baru saja berbohong pada Ibu? Tunggu, kenapa?
Kelihatannya Ibu baru mengerti perkataan Tuan Pesulap. Ibu menundukkan kepalanya sedikit dengan formal. “Ah, maaf, Tuan ... atau ‘Nak’? Leiro belum pernah bercerita tentangmu sedikit pun padaku.”
Tuan Pesulap—yang menuliskan sesuatu di atas kertas nota selama Ibu mencerna perkataannya—melepas mantelnya dan memberinya padaku. Di bawah mantel, tangannya mengoper kertas ke tanganku. “Tenanglah, Nyonya. Aku hanya berjalan-jalan dan tak sengaja bertemu adik Leiro.”
Mereka berbicara sedikit, dan bukan hal yang penting, kurasa. Aku berjalan pergi sambil membaca kertas nota. Tulisan di sana menunjukkan bahwa Tuan Pesulap menyadari sesuatu tentang Ibu. Kamu kelihatan aneh di depan ibumu, Alden. Kamu pasti menyimpan terlalu banyak rahasia darinya, ya? Tak apa. Kita semua hidup bersama poker face masing-masing. Beritahu saja apa yang terjadi, itu pun bila kau mau.
Kelihatan aneh? Argh! Semoga Ibu tak bisa mendapatkan satu cerita pun dari wajahku.
“Leiro tak pernah bilang pada Ibu kalau dia punya teman. Apa dia mengatakan sesuatu padamu, Alden?” bisik Ibu.
Aku menyeringai kecil, dan kelihatannya pasti begitu kaku. Jujur saja, aku juga. Aku tak pernah tahu kakakku itu punya teman akrab atau pacar. Bahkan sebelum ia lulus, aku belum pernah mendengar kalau Lei pergi bersama dengan teman-temannya.
“Lei ada di lantai atas,” ujarku sambil menunjuk tangga. “Ingin menemuinya?”
“Tentu, itu alasanku kemari.” Tuan Pesulap tertawa kecil. “Semoga ia siap untuk kejutan April Mop yang terlam—”
“Leiro demam,” sela Ibu, membuat aku dan Tuan Pesulap menoleh ke arahnya.
“Demam, Nyonya?” tanya Tuan Pesulap dengan begitu tenang. Matanya tampak khawatir, dan aku tak bisa menebak itu dibuat-buat atau tidak.
“Sebenarnya, rasanya itu bukan demam biasa, dan sedikit aneh disebut demam. Suhu tubuhnya turun beberapa derajat dari suhu normal. Katanya, ia tak selera makan dan memilih tetap berbaring. Kurasa sudah sejak satu jam ia mengatakan itu.”
Apa waktu itu sudah datang? Apa aku terlambat? Apa malaikat kematian telah melaksanakan tugasnya pada Lei?
“Aku hanya menjenguknya sebentar, lalu membiarkannya beristirahat. Boleh?” Tuan Pesulap melirikku sekilas sebelum Ibu sempat menjawab, menunjuk tangga. “Alden, keberatan menunjukkan jalannya?”
Aku berlari kecil menaiki tangga, menuju kamar Lei. Hening dan kegelapan mengatakan selamat datang saat aku membuka pintu. Kunyalakan lampu. Lei tengah berbaring di tempat tidurnya. Ia membuka matanya sedikit, lalu memejamkannya kembali. Kelihatannya malaikat kematian belum melakukan tugasnya.
Tapi, Lei terlihat ... buruk. Apa buruk kata yang tepat?
Kulitnya terlihat begitu pucat—lebih pucat dari biasanya. Mata dan seluruh wajahnya tampak kelelahan. Selain matanya, aku tak ingat melihat tubuhnya bergerak. Setelah lama memperhatikan, aku bisa melihat dadanya masih naik-turun dengan begitu perlahan. Cukup untuk meyakinkanku kalau dia masih bernapas.
KAMU SEDANG MEMBACA
End of The Magic
FantasyAlden selalu berkhayal menjadi seorang pesulap. Leiro, kakak sekaligus penonton pertamanya, mengajukan sebuah permintaan pada Alden. Lei ingin lari dari dunia yang penuh hiruk pikuk ini. Ketika berhasil menjadi seorang pesulap dalam asuhan pesulap...