19

5 3 0
                                    

Dalam keheningan, aku melangkah bersama kegelapan. Berdiri di atas sesuatu yang tak bisa kugapai. Benda di bawah kakiku memadat setiap aku melangkah, terjatuh atau duduk, tapi setiap kali aku menyentuhnya untuk mengetahui benda apa ia ini, ia terasa menghilang dari tanganku.

Waktu terasa bergerak terlalu perlahan. Bahkan angin pun tak terasa, tapi aku tak merasa sesak ataupun gerah di sini.

Aku di tempat apa?

Di mana pintu ke tempat selanjutnya?

Berapa lama waktu yang sudah kuhabiskan di sini?

Semua pertanyaan itu bergerak begitu cepat, berebut supaya kepalaku bisa melihat mereka, dan entah mengapa kakiku berusaha menandingi kecepatan pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan berlari. Apa yang kukejar sampai kakiku terus saja berlari menapaki hal yang bahkan tak bisa kusentuh? Kegelapan tanpa akhir?

Aku menelan ludah. Langkahku melambat. Akankah aku menemukan cara keluar dari sini? Berapa banyak Waktu Kehidupan yang telah kuhabiskan di tempat aneh ini?

Semuanya bergantung pada pikiranku.

Bila aku yakin bisa keluar, maka aku akan keluar. Sekarang, aku hanya perlu mencari tahu bagaimana, meski satu-satunya cara adalah berlari di atas kenihilan.

Asalkan menikmati prosesnya, sesuatu tak akan menyebalkan. Itu kupelajari dari Tuan Pesulap. Jatuh-bangun, gagal dan bangkit lagi, semua itu yang membuat akhir dari sebuah perjalanan menjadi lebih indah dan berharga.

Kuharap itu berlaku pada semua hal, termasuk kegelapan ini.

Tak ada seberkas cahaya pun yang berhasil mataku lihat. Kugunakan pikiran untuk mengetahui benda di sekelilingku pun tak ada gunanya. Tak ada yang berubah, seakan tempat ini hanya terdiri atas kegelapan seratus persen. Apa mungkin aku sudah tahu jawaban atas pertanyaanku pada Tuan Pesulap saat itu—bahwa dengan sihir ini, aku tak memerlukan lampu untuk melihat dalam kegelapan?

Aku mempercepat langkah. Aku harus segera keluar dari sini.

"Ugh!" Kepalaku menabrak sesuatu. Tanganku meraba benda di depan kepala. Tak bertekstur kasar, malah cenderung licin dan dingin. Aku menunduk sambil terus memegang benda itu, tapi sampai kakiku pun ia masih terasa. Seperti ... kaca yang ditegakkan?

Aku berada di dalam akuarium raksasa yang kosong dan kering? Tak mungkin, akuarium memiliki dasar, bukannya kegelapan.

Tak ada yang bisa kupercaya.

Aku kembali berdiri, terus meraba kaca itu sambil berjalan ke samping. Caraku berjalan persis seperti seekor kepiting di atas pasir pantai. Perbedaannya hanya pada capit—tanganku—yang malah sibuk mencari tahu ujung dari kaca, supaya aku bisa melewati daerah yang tidak ditutupinya.

Entah sudah berapa lama aku berjalan seperti seekor kepiting ini, kegelapan membuat waktu berjalan terlalu lambat. Tepat di saat aku sudah merasa lelah karena tak kunjung menemukan ujung dari kaca yang kupegang, akhirnya aku menemukan ruang kosong.

Tubuhku jatuh ke dalamnya. Wajahku mencium lantai dingin, dengan bau semen yang khas merasuk hidung. Benar-benar lantai yang kukenal. Akhirnya aku bertemu dengannya.

Ah ... Astaga! Lantai? Di antara banyak hal yang bisa menyimpan rasa rinduku, lantai-lah yang otakku pilih?

Aku berdiri, melihat sekeliling. Tempat ini gelap, tapi setidaknya, aku masih bisa bertemu cahaya. Dengan seberkas cahaya dari luar ruangan ini dan sedikit pembiasaan, aku bisa melihat siluet dari barang-barang di sekelilingku. Lemari di ujung kanan dan kiri. Hanya itu saja yang bisa kusimpulkan, jika melihat tinggi siluetnya.

End of The MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang