Aku sudah pasrah.
Apa ada cara yang sudah jelas berhasil? Berapa kali kegagalan yang harus kutemui untuk bisa bertemu keberhasilan? Apa waktuku cukup untuk menemui kegagalan?
Semua pertanyaan itu mendadak lenyap dari kepalaku. Tergantikan oleh kekosongan. Waktunya pulang. Sendirian. Apa yang harus kubilang pada Ayah dan Ibu? Tentu saja mengaku.
"Aku mau keluar."
Aku mendongak. Lei memandangku lembut, dengan senyum lemah di bibir. Kebingungan di wajahnya menghilang bagai kabut. Aku tak bisa memercayai perkataan Lei dengan mudahnya seperti itu. Pasti ada sesuatu yang salah. Telingaku? Pikiranku? "Benarkah? Mengapa?"
"Kukira kau kemari untuk membawaku keluar dari sini, Al." Ia tertawa. Perkataannya tak salah, tapi jawabannya sangat berada di luar dugaan. Tepat sebelum aku menjawab, ia sudah melanjutkan, "Di sini, ada satu hal yang kupelajari. Sekarang aku tahu mengapa manusia memiliki masalah. Hidup akan terasa hambar tanpanya. Tempat ini memiliki segala yang kuinginkan. Ketenangan, apresiasi sepenuhnya, semuanya. Semula, aku bahagia ketika mendapatkannya, tapi lama-kelamaan, rasanya kosong. Ada yang hilang."
"Tapi waktumu ...."
"Tak apa. Lebih baik singkat tapi memorable, daripada waktu panjang yang membosankan. Ayo."
Aku memandang Lei yang menyeringai lebar sambil mulai menuruni tangga. Hanya beberapa detik, tapi waktu terasa berjalan begitu lama. Cukup lama untuk mengubah Lei yang kukenal menjadi Lei yang sekarang.
Ia tak tampak berbeda, setidaknya di mataku. Ia masih urakan. Senyumnya tetap lebar. Perkataannya masih terkesan melantur. Namun, ada yang salah dari matanya. Mungkin ia bicara jujur. Mungkin.
Aku mengajak Lei menuruni tangga yang sebelumnya kugunakan naik. Pada kiri dan kananku, hanya terlihat gumpalan awan putih yang terlihat lembut.
"Al, kamu sendirian? Apa ini pertama kalinya kamu ke tangga ini?"
"Pertanyaan bodoh macam apa itu? Sudah jelas ini pertama kali, dan aku sendirian."
"Lalu, siluet orang dan suara derap langkah yang kudengar sebelumnya itu ... bukan milikmu atau milik temanmu?"
"Ini dunia buatanmu, Lei, dan aku baru saja berkunjung. Tak ada yang kuketahui dari tempat ini kecuali cara keluarnya."
"Tapi aku tak pernah mengharapkan sosok pria tinggi, atau suara langkah dari anak kecil yang tertawa. Kukira suara tawa itu adalah tawamu. Sekilas terdengar serupa. Untuk siluet pria tinggi, ya, tak mungkin itu kamu. Karena itu aku bertanya apa kamu sendirian atau tidak."
"Di mana kau mendengarnya?"
Lei menunjuk ujung tangga yang kami tapaki. Tertutup kegelapan. "Di sana. Tak lama sebelum kamu naik. Dan ... jauh sebelum itu. Persis ketika aku sampai di negeri di atas awan itu."
Kakiku mendadak berhenti melangkah. Mereka tak hanya mengikutiku, tapi juga mengikuti Lei? Atau ... mereka ada banyak? Sejauh apa pun aku kabur dari mereka, sepertinya mereka tetap bisa mengejarku.
Apa perlu kuberitahu kakakku ini bahwa selama mencarinya, aku dikejar-kejar oleh dua sosok yang dilihatnya?
Kepalaku mendadak menabrak punggung saat tangga berakhir. Lei yang berjalan di depanku berhenti mendadak. Aku mendongak, ia hanya memandang lurus. Mulutku baru akan bertanya alasannya ketika Lei sudah menjawab isi pikiranku lebih dulu.
"Itu mereka. Sosok pria tinggi, dan si anak kecil."
Aku memiringkan tubuh, melihat ke arah lorong gelap di depan. Tubuhku terasa membeku, terutama mengingat kartu tarot Magician yang disodorkan si pria. Dua orang itu ada di lorong.
KAMU SEDANG MEMBACA
End of The Magic
FantasyAlden selalu berkhayal menjadi seorang pesulap. Leiro, kakak sekaligus penonton pertamanya, mengajukan sebuah permintaan pada Alden. Lei ingin lari dari dunia yang penuh hiruk pikuk ini. Ketika berhasil menjadi seorang pesulap dalam asuhan pesulap...